Oleh : Muhammad Kosim
terbit di Padang Ekspres • Senin, 13/01/2014

Peran Rasulullah SAW sebagai pemimpin juga diakui oleh Michael H. Hart. Ia menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh paling berpengaruh pada urutan pertama di antara 100 tokoh yang ia tulis. Di antara alasannya adalah: “Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.”
Model kepemimpinan Rasulullah SAW bisa dibaca dalam firman Allah SWT: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah/9: 128).
Ayat di atas menginformasikan bahwa sifat Rasulullah itu adalah ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW memiliki kepekaan yang tinggi terhadap umat yang ia pimpin (sense of crisis). Kepekaan atas kesulitan rakyat atau umat itu ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
Seorang pemimpin tidak akan pernah nyaman dan tenang ketika melihat rakyatnya masih ada yang menderita dan kesusahan. Ia merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Karena itu ia tidak akan melahirkan kebijakan yang merugikan, apalagi menyengsarakan rakyat kecil.
Banyak fakta sejarah yang membuktikan bahwa Nabi SAW memiliki sifat di atas. Misalnya dalam peristiwa hijrah. Ketika umat Islam mendapat tekanan yang demikian berat dari orang-orang kafir Quraisy di Mekah, maka Nabi SAW meminta sahabat-sahabatnya hijrah ke Habsy (Ethopia-Afrika). Nabi sudah tahu bahwa di sana ada Raja an-Najasy yang dikenal adil, tak bakal ada seorang pun yang teraniaya di sisinya.
Namun Nabi tidak ikut serta dalam hijrah tersebut. Ia tetap memilih bertahan bersama sahabat lain yang tidak mungkin ikut hijrah lalu menghadapi tekanan dan teror yang dilakukan oleh kafir Quraisy.
Berbeda halnya ketika hijrah ke Thaif. Pascawafatnya Abu Thalib, permusuhan yang dilancarkan oleh orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi dan para sahabatnya semakin menjadi-jadi. Nabi pun memilih untuk hijrah. Kali ini, Nabi sendiri yang pergi hijrah ditemani oleh anak angkatnya Zaid bin Haritsah, sedangkan sahabat lain tetap tinggal di Mekah. Keputusan ini ia ambil karena belum ada jaminan keselamatan di tempat yang dituju. Hasilnya, penduduk Thaif benar-benar menolak kedatangan Sang Nabi, bahkan melempar dan memakinya.
Dua peristiwa di atas menunjukkan bahwa Nabi SAW lebih menginginkan keselamatan umatnya ketimbang dirinya sendiri. Adakalanya kebijakan yang diambil mengandung risiko tertentu, akan tetapi risiko itu tidak dibebankan kepada rakyat kecil. Demikianlah yang dipraktikkan Nabi SAW.
Dengan empati yang demikian tinggi, maka Nabi SAW senantiasa menginginkan kesalamatan dan kebahagiaan umatnya. Ayat di atas menyebut Nabi memiliki sifat harishun ‘alaikum (amatsangatberkeinginan agar orang lain amandansentosa). Sifat ini, dalam istilah modern, disebut sense of achievement, yaitu semangat yang menggebu-gebu agar masyarakat dansuatu bangsa meraih kemajuan.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, Rasulullah SAW mendidik umat agar berusaha sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Apapun profesinya, tidak boleh melakukan atau mencampuradukkan hal-hal yang dilarang Allah. Karena itu, Nabi pun mengajarkan prinsip-prinsip dasar dalam setiap aktivitas dan profesi manusia, seperti di bidang ekonomi, sosial-budaya, hukum, pendidikan, termasuk bidang politik.
Dengan demikian, orientasi kepemimpinan Rasulullah SAW bersifat teo-antropocentris. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Rasulullah SAW tidak saja semata-mata menghargai dan memperjuangkan sisi kemanusiaan dari umatnya, tetapi yang tidak kalah penting adalah menjadikan aturan Tuhan sebagai pedoman untuk mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Nabi tidak hanya bertujuan “memanusiakan manusia”, akan tetapi proses humanisasi yang dilakukan harus berlandaskan kepada nilai-nilai religius atau aturan Allah SWT.
Selain itu, sebagai pemimpin Nabi SAW juga bersifat ra’ufunrahim (pengasih dan penyayang). Rasa empati dan menginginkan kesalamatan bagi umatnya tentu muncul karena adanya rasa kasih sayang dalam diri seorang pemimpin.
Tidak saja kepada para sahabat dan pengikutnya, Nabi SAW juga menyayangi orang-orang yang memusuhinya. Suatu ketika Nabi bersabda: “Takutlah kepada doa orang yang dizalimi walaupun dia orang kafir, karena saat itu tidak ada hijab baginya.”
Ketika penduduk Thaif menghina dan melemparinya dengan batu, nabi justru mendoakan mereka agar diampuni dan diberi petunjuk oleh Allah SWT.
Karena itulah, posisi Nabi SAW sebagai pemimpin tertinggi di Yatsrib/Madinah, tidak membuat dirinya haus akan pujian dan penghormatan. Ia jutsru tampil sebagai pemimpin yang merakyat dan tidak ingin diperlakukan secara berlebihan.
Abbas Mahmud al-Aqqad, ketika menulis tentang peran “Muhammad sebagai Pemimpin”, mengemukakan bahwa kecintaan orang yang mengikutinya merupakan syarat bagi Nabi SAW menjadi pemimpin. Seseorang makruh menjadi imam dalam shalat apabila tidak disenangi oleh makmum. Lebih dari itu, Nabi SAW juga selalu memposisikan dirinya seperti rakyat biasa.
Al-Aqqad mengutip hadis yang mengisahkan suatu ketika Nabi SAW dalam perjalanan, memerintahkan sahabatnya untuk menyembelih seekor kambing, berkata seseorang: “Wahai Rasulullah saya yang menyembelihnya”, yang lain berkata: “Saya yang mengulitinya”, dan sahabat yang satunya berkata: “Saya yang memasaknya”, lalu Nabi berkata: “Saya yang akan mencari kayu bakar”.
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah biar kami saja melakukannya”, Nabi bersabda: “Aku tahu kalian melayani aku, akan tetapi aku tidak senang kalau aku dibeda-bedakan dengan kalian. Sesungguhnya Allah membenci seorang hamba yang terlihat berbeda dengan kawan-kawannya.”
Jika prinsip seperti ini dimiliki oleh setiap pemimpin, maka di saat posisinya tidak lagi sebagai pejabat, maka mentalnya tidak akan mengalami kegoncangan. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan kebangaan dan kesenangan karena banyak mendapat pelayanan dan penghormatan.
Ketika kaum muslimin membuat parit (khandaq) di sekitar kota Madinah, Rasulullah SAW juga ikut dalam pekerjaan itu. Begitu pula ketika mendirikan masjid di Madinah, ia juga ikut memikul bebatuan sebagai pondasi dan dinding dari masjid tersebut.
Semua itu mengisyaratkan agar seorang pemimpin tidak saja cerdas bertutur, pandai menyuruh, tetapi yang terpenting adalah menjadi teladan melalui perbuatan. Slogan “pro rakyat”, “anti dan tolak korupsi”, “dekat dan melayani”, “berbuat untuk perubahan yang lebih baik” dan sebagainya haruslah dibuktikan dengan perbuatan, bukan sekedar pernyataan lisan dan tulisan belaka.
Pada akhirnya, Nabi SAW menjadi pemimpin yang dinilai sukses dan paling berpengaruh dalam memimpin masyarakat Madinah di masanya lalu menjadi model yang terus diteladani oleh orang-orang sesudahnya hingga saat ini dan mendatang. Kunci keberhasilannya adalah keteladan yang ia tampilan (Qs. al-Ahzab/33: 21).
Keteladanan itu terbentuk tidak terlepas dari akhlak mulia yang dimilikinya (Qs. al-Qalam/68: 4). Tidaklah mungkin seorang pemimpin dicintai rakyatnya jika sang pemimpin memiliki akhlak yang buruk.
Yusuf Qardhawi mengutip syair yang sering diulang-ulang Hasan al-Banna: “Demi hidupmu,tidaklah negeri sempit karena penduduknya. Tetapi yang menjadikannya sempit ialah akhlak pemimpin-pemimpinnya.” Qardhawi juga menjelaskan krisis dunia disebabkan krisis jiwa dan hati sebelum krisis ekonomi dan politik.
Memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW 1435 H di tahun ini, sejatinya menjadi momentum bagi para pemimpin untuk meneladani kepemimpinan Rasulullah SAW. Model kepemimpinannya harus menjadi inspirasi untuk berjuang demi kepentingan rakyat; bukan justru menjadikan rakyat sebagai sapi perahan demi kekuasaan yang menggiurkan.
Jadilah pempimpin yang istiqamah antara ucapan dan perbuatan. Asahlah rasa empati dan kasih sayang terhadap sesama sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang konkrit untuk mengangkat penderitaan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan kekufuran. Wallahu a’lam.(***)
Mudah2 kita termasuk para pemimpin kita meneladani apa2 yg telah diperbuat Rasulullah ...Amin ....tks pembelajarannya Pak Doktor ...
BalasHapus