Rabu, 15 Januari 2014

Rasulullah SAW Pemimpin Inspiratif

Oleh : Muhammad Kosim

terbit di  Padang Ekspres • Senin, 13/01/2014 

Tidak diragukan lagi, Nabi Mu­hammad SAW adalah seorang pe­mim­pin yang senantiasa memberi inspirasi banyak orang. Kepemimpinannya tetap menjadi model ideal, terutama bagi umat Islam, sehingga patut diteladani oleh setiap pemimpin di setiap lintas zaman.
Peran Rasulullah SAW sebagai pe­mim­pin juga diakui oleh Michael H. Hart. Ia menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh paling berpengaruh pada urutan pertama di antara 100 tokoh yang ia tulis. Di antara alasannya adalah: “Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.”


Model kepemimpinan Rasulullah SAW bisa dibaca dalam firman Allah SWT: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas ka­si­han lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah/9: 128).
Ayat di atas menginformasikan bah­wa sifat Rasulullah itu adalah ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Sebagai pemimpin, Rasulullah SAW memiliki kepekaan yang tinggi terhadap umat yang ia pimpin (sense of crisis). Kepekaan atas kesulitan rakyat atau umat itu ditun­jukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
Seorang pemimpin tidak akan per­nah nyaman dan tenang ketika melihat rakyatnya masih ada yang menderita dan kesusahan. Ia merasakan apa yang di­ra­sakan oleh rakyatnya. Karena itu ia tidak akan melahirkan kebijakan yang me­rugikan, apalagi menyengsarakan rakyat kecil.
Banyak fakta sejarah yang mem­buktikan bahwa Nabi SAW memiliki sifat di atas. Misalnya dalam peristiwa hijrah. Ketika umat Islam mendapat tekanan yang demikian berat dari orang-orang kafir Quraisy di Mekah, maka Nabi SAW meminta sahabat-sahabatnya hijrah ke Habsy (Ethopia-Afrika). Nabi sudah tahu bahwa di sana ada Raja an-Najasy yang dikenal adil, tak bakal ada seorang pun yang teraniaya di sisinya.
Namun Nabi tidak ikut serta dalam hijrah tersebut. Ia tetap memilih ber­tahan bersama sahabat lain yang tidak mungkin ikut hijrah lalu menghadapi tekanan dan teror yang dilakukan oleh kafir Quraisy.
Berbeda halnya ketika hijrah ke Thaif. Pascawafatnya Abu Thalib, permusuhan yang dilancarkan oleh orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi dan para sa­ha­bat­nya semakin menjadi-jadi. Nabi pun memilih untuk hijrah. Kali ini, Nabi sendiri yang pergi hijrah ditemani oleh anak angkatnya Zaid bin Haritsah, se­dang­kan sahabat lain tetap tinggal di Mekah. Keputusan ini ia ambil karena belum ada jaminan keselamatan di tempat yang dituju. Hasilnya, penduduk Thaif benar-benar menolak kedatangan Sang Nabi, bahkan melempar dan me­ma­kinya.
Dua peristiwa di atas menunjukkan bahwa Nabi SAW lebih menginginkan keselamatan umatnya ketimbang dirinya sendiri. Adakalanya kebijakan yang diambil mengandung risiko tertentu, akan tetapi risiko itu tidak dibebankan kepada rakyat kecil. Demikianlah yang dipraktikkan Nabi SAW.
Dengan empati yang demikian ting­gi, maka Nabi SAW senantiasa me­ng­ingin­kan kesalamatan dan kebahagiaan umatnya. Ayat di atas menyebut Nabi me­miliki sifat harishun ‘alaikum (a­matsangatberkeinginan agar orang lain amandansentosa). Sifat ini, dalam istilah modern, disebut sense of achievement, yaitu semangat yang menggebu-gebu agar masyarakat dansuatu bangsa me­raih kemajuan.
Untuk mewujudkan keinginan ter­se­but, Rasulullah SAW mendidik umat agar berusaha sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Apapun profesinya, tidak boleh melakukan atau mencampuradukkan hal-hal yang dilarang Allah. Karena itu, Nabi pun mengajarkan prinsip-prinsip dasar dalam setiap aktivitas dan profesi manusia, seperti di bidang ekonomi, sosial-budaya, hukum, pendidikan, termasuk bidang politik.
Dengan demikian, orientasi ke­pe­mim­pinan Rasulullah SAW bersifat teo-antropocentris. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Rasulullah SAW tidak saja semata-mata menghargai dan memperjuangkan sisi kemanusiaan dari umatnya, tetapi yang tidak kalah penting adalah menjadikan aturan Tuhan se­ba­gai pedoman untuk mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Nabi tidak hanya bertujuan “me­manusiakan manusia”, akan tetapi proses hu­manisasi yang dilakukan harus ber­lan­daskan kepada nilai-nilai religius atau aturan Allah SWT.
Selain itu, sebagai pemimpin Nabi SAW juga bersifat ra’ufunrahim (pe­nga­sih dan penyayang). Rasa empati dan menginginkan kesalamatan bagi umatn­ya tentu muncul karena adanya rasa kasih sayang dalam diri seorang pe­mimpin.
Tidak saja kepada para sahabat dan pengikutnya, Nabi SAW juga menyayangi orang-orang yang memusuhinya. Suatu ketika Nabi bersabda: “Takutlah kepada doa orang yang dizalimi walaupun dia orang kafir, karena saat itu tidak ada hijab baginya.”
Ketika penduduk Thaif menghina dan melemparinya dengan batu, nabi justru mendoakan mereka agar di­am­pu­ni dan diberi petunjuk oleh Allah SWT.
Karena itulah, posisi Nabi SAW se­ba­gai pemimpin tertinggi di Yatsrib/Ma­di­nah, tidak membuat dirinya haus akan pujian dan penghormatan. Ia jutsru tampil sebagai pemimpin yang merakyat dan tidak ingin diperlakukan secara berlebihan.
Abbas Mahmud al-Aqqad, ketika menulis tentang peran “Muhammad sebagai Pemimpin”, mengemukakan bahwa kecintaan orang yang me­ngi­kutinya merupakan syarat bagi Nabi SAW menjadi pemimpin. Seseorang makruh menjadi imam dalam shalat apabila tidak disenangi oleh makmum. Lebih dari itu, Nabi SAW juga selalu memposisikan dirinya seperti rakyat biasa.
Al-Aqqad mengutip hadis yang me­ngi­sahkan suatu ketika Nabi SAW dalam perjalanan, memerintahkan sahabatnya untuk menyembelih seekor kambing, berkata seseorang: “Wahai Rasulullah saya yang menyembelihnya”, yang lain berkata: “Saya yang mengulitinya”, dan sahabat yang satunya berkata: “Saya yang memasaknya”, lalu Nabi berkata: “Saya yang akan mencari kayu bakar”.
Para sahabat berkata, “Wahai Ra­sulullah biar kami saja melakukannya”, Nabi bersabda: “Aku tahu kalian me­la­yani aku, akan tetapi aku tidak senang kalau aku dibeda-bedakan dengan ka­lian. Sesungguhnya Allah membenci seorang hamba yang terlihat berbeda dengan kawan-kawannya.
Jika prinsip seperti ini dimiliki oleh setiap pemimpin, maka di saat posisinya tidak lagi sebagai pejabat, maka men­tal­nya tidak akan mengalami kegoncangan. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan ke­bangaan dan kesenangan karena ba­nyak mendapat pelayanan dan peng­hor­matan.
Ketika kaum muslimin membuat parit (khandaq) di sekitar kota Madinah, Rasulullah SAW juga ikut dalam pe­ker­jaan itu. Begitu pula ketika mendirikan masjid di Madinah, ia juga ikut memikul bebatuan sebagai pondasi dan dinding dari masjid tersebut.
Semua itu mengisyaratkan agar se­orang pemimpin tidak saja cerdas ber­tutur, pandai menyuruh, tetapi yang ter­penting adalah menjadi teladan me­lalui perbuatan. Slogan “pro rakyat”, “anti dan tolak korupsi”, “dekat dan melayani”, “berbuat untuk perubahan yang lebih baik” dan sebagainya haruslah dibuk­tikan dengan perbuatan, bukan sekedar pernyataan lisan dan tulisan belaka.
Pada akhirnya, Nabi SAW menjadi pemimpin yang dinilai sukses dan paling berpengaruh dalam memimpin ma­sya­rakat Madinah di masanya lalu menjadi model yang terus diteladani oleh orang-orang sesudahnya hingga saat ini dan mendatang. Kunci keberhasilannya adalah keteladan yang ia tampilan (Qs. al-Ahzab/33: 21).
Keteladanan itu terbentuk tidak ter­lepas dari akhlak mulia yang dimilikinya (Qs. al-Qalam/68: 4). Tidaklah mungkin seorang pemimpin dicintai rakyatnya jika sang pemimpin memiliki akhlak yang buruk.
Yusuf Qardhawi mengutip syair yang sering diulang-ulang Hasan al-Banna: “Demi hidupmu,tidaklah negeri sempit karena penduduknya. Tetapi yang men­ja­dikannya sempit ialah akhlak pe­mim­pin-pemimpinnya.” Qardhawi juga men­je­laskan krisis dunia disebabkan krisis jiwa dan hati sebelum krisis eko­nomi dan politik.
Memperingati Maulud Nabi Mu­ham­mad SAW 1435 H di tahun ini, se­ja­tinya menjadi momentum bagi para pemimpin untuk meneladani ke­pe­mim­pinan Rasulullah SAW. Model ke­pe­mim­pinannya harus menjadi inspirasi untuk berjuang demi kepentingan rakyat; bukan justru menjadikan rakyat sebagai sapi perahan demi kekuasaan yang menggiurkan.
Jadilah pempimpin yang istiqamah antara ucapan dan perbuatan. Asahlah rasa empati dan kasih sayang terhadap sesama sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang konkrit untuk meng­angkat penderitaan rakyat dari kemis­ki­nan, kebodohan, dan kekufuran. Walla­hu a’lam.(***)

1 komentar:

  1. Mudah2 kita termasuk para pemimpin kita meneladani apa2 yg telah diperbuat Rasulullah ...Amin ....tks pembelajarannya Pak Doktor ...

    BalasHapus