Kamis, 23 Mei 2013

MERENDA MASA DEPAN MTI



oleh:
DUSKI SAMAD
Ketua DPD PERTI Sumatra Barat

A.     Mukaddimah
Membaca ‘alamat dari masa lalu dan keadaan kini adalah tanda-tanda kehidupan ulul albab. Sejarah dan pengalaman adalah guru kehidupan yang tak akan salah. Mengali spirit dari norma dan nilai adalah cara tepat untuk merefleksi sejarah. dua ayat berikut ini patut dimengerti untuk menetapkan tiang pancang bangunan MTI di masa datang. Menghargai, mendoakan dan memiliki pandangan positif terhadap pendahulu adalah cara mulia yang diajarkan al-qur’an.    
š  
Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr, 59:10).
Mengukur kedewasaan adalah wahana untuk memperoleh hikmah dan ilmu, karena memang kebaikan tertinggi hanya akan diberikan kepada mereka dicatat sebagai muhsinin (pelaku kehidupan yang murni  karena-Nya). 

Artinya:  Dan tatkala Dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya Hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf, 12:22)
B.     Berkaca Sejarah
Sejarah emas yang ditorehkan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) adalah modal sosial yang dapat dikembangkan untuk merenda masa depan lembaga umat ini. Sejarah adalah guru yang akan terus mampu mengajari anak zamannya. Sejarah yang hadir sebagai buah kerja keras dan perjuangan tak kenal menyerahkan patut dibaca untuk dijadikan spirit perjuangan hari ini dan masa datang. Setelah 87 tahun MTI (5 Mei 1928 – 5 Mei 2013) berkiprah mendidik umat, kini dapat diurut dan maknai perjalanan sejarahnya:

1.     Surau Berhalaqah.
Sejalan dengan gerak dakwah dan pendidikan Islam di awal abad 20 lalu, ulama ahlussunah waljamaah, as-Syafiiyah di Minangkabau, memainkan peran penting lewat lembaga pendidikan surau. Surau Inyiak Candung dan Surau Inyiak Jaho adalah di antara lembaga pendidikan yang dikenal luas mendidik anak-anak bangsa dari berbagai daerah. Kiprah ulama surau pada era pembaharuan ini bukan saja sebagai simpul keagamaan, akan tetapi juga pusat gerakan pencerdasan dan kemasyarakatan.
Dinamisnya gerakan pembaharuan pemikiran yang berkelindan dengan usaha untuk mengusir penjajahan Belanda di paruh awal tahun 1900- an adalah momentum berkembangnya surau menjadi lembaga pendidikan modern. Perubahan alam pikiran ulama pegiat perubahan untuk meningkatkan pola pembelajaran halaqah menjadi klasikal adalah babak baru pengembangan lembaga pendidikan Islam di Minangkabau. Satu di antaranya adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI).

2.     Surau Berkelas.
Berdirinya MTI adalah bukti kuatnya semangat pembaharuan di dada ulama ahlussunah yang merupakan pengembangan halaqah. Pertemuan pimpinan halaqah surau yang dikomandoi oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, akhirnya menyepakati mengubah (konversi) surau menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah disingkat MTI. Dari MTI ini pada akhirnya dilahirkan organisasi yang bernama PERTI.  PERTI lahir di Nagari Candung Bukittinggi ranah Minangkabau, Sumatera Barat, pada tanggal 5 Mei 1928. Ketika itu berkumpullah ulama dan pemimpin Madrasah Tarbiyah Islamiyah untuk mengikat diri dalam satu wadah yang mereka sepakati dengan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Dalam rentang sejarah panjang PERTI patut sekali ditangkap makna dinamika yang telah dijalaninya.
Hebatnya perjuangan PERTI dalam lapangan pendidikan, dakwah, sosial dan politik ternyata  kini telah menjadikan PERTI dikenal dan salah satu khazanah nasional. Kenyataan ini diungkap oleh Prof. Dr.Alidin Koto dalam bukunya Pemikiran Politik PERTI.  Pada halaman 9 Alaidin  menulis, bahwa priode  tahun 1945-1970 adalah masa  PERTI berstatus sebagai partai politik dan setelah tahun 1970, PERTI terbelah menjadi dua, yang satu menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar disebut dengan TARBIYAH dan lainnya menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP inilah yang masih kokoh menyebut dirinya dengan PERTI. Dinamika ini pulalah yang menjadikan MTI ikut terbawa arus dalam perubahan gerakan dan sikap pendidikan yang diembannya.     


3.     Surau Pola Madrasah.
Bersamaan dengan derasnya arus tarik menarik politik di lingkungan internal MTI, di lembaga pendidikan agama pihak Kementerian Agama memperkenalkan pula kurikulum Madrasah tahun 1975. Kurikulum Madrasah memberikan kesempatan yang sama untuk tamatan Madrasah melanjutkan kependidikan tinggi umum. Menjadikan pengetahuan umum 70 persen di Madrasah dan 30 persen pengetahuan agama, ini akhirnya membawa badai perubahan bagi MTI.
Ada MTI yang mengadopsi kurikulum ini yang berakibat tergerus pondasi dasar ke MTI- an, khususnya pembelajaran kitab kuning. Ada pula yang mencoba melakukan inovasi dengan mengabungkan antara kurikulum Madrasah dengan MTI. Ada juga yang masih bertahan pada pola pembelajaran MTI yang asli, baik materi ajar, kitab yang dipakai, metode pengajaran dan tradisi kehidupan di surau.  
Perubahan penting pondasi pelajaran agama di Madrasah telah membawa dampak yang tidak kecil bagi perkembangan MTI, karena civil effect – penyamaan ijazah Madrasah dengan sekolah umum – telah membuat masyarakat meninggalkan MTI, khususnya mereka yang masih bertahan dengan pola lama.

4.      Surau, Madrasah dan Pondok Pesantren
Perkembangan lanjutan dari MTI adalah hadirnya madrasah yang memadukan antara surau, madrasah dan Pesantren. Pola surau yang menjadi ciri khas MTI tetap dipertahankan, sementara pembelajaran mengunakan kurikulum Madrasah Negeri. Untuk formal pada kementrian agama dan pemerintah, MTI memakai istilah Pondok Pesantren. Kebijakan ini akhirnya membawa dampak positif terutama dalam bentuk bantuan pemerintah lewat jalur Madrasah dan Pesantren.

5.     Sekolah Bercirikan Madrasah.
Berlakunya undang-undang sistim pendidikan Nasional yang menempatkan Madrasah sebagai sekolah umum yang bercirikan agama adalah juga membawa dampak tersendiri bagi dunia MTI. Ada MTI yang menyesuaikan diri dengan arah kurikulum pendidikan seperti di maksud pemerintah, guna memberikan kesempatan kepada anak didik untuk ujian negara, ini lebih banyak. Meskipun, beberapa MTI tetap istiqamah dengan kurikulum, tradisi dan nilai yang dianutnya sejak awal. 

C.      Tawaran Pemikiran
1.      Reorentasi Visi, Misi dan Harakah Perjuangan.
Pendidikan adalah entri point bagi kemajuan. Pengabaian pendidikan lonceng kematian. Menyusun potensi, menyamakan misi, visi. strategi, dan mengokohkan kompetensi MTI dengan segenap jajaran, mengarap lahan keummatan, membangun institusi kader ulama, cendikiawan dan pengembang ummat adalah tidak bisa ditunda lagi. Membuka akses pendidikan kedunia Islam adalah agenda, harus segera disingkap kembali. Peduli pada pendidikan ulama dan keulamaan tidak dapat tidak harus ditumbuhkan dilingkungan MTI.
Mencermati tantangan masa datang yang cendrung semangkin materialis dan pragmatis, maka perlu ditajdid kembali visi, misi dan orentasi MTI. Merumuskan cita-cita luhur, tujuan kelembagaan dan arah yang ingin dicapai oleh MTI adalah cara  tepat untuk merancang MTI di masa depan. 
Singkat kata, semua komponen di MTI hendaknya segera memastikan bahwa MTI pada dasarnya adalah lembaga kaderisasi ulama. Kebutuhan umat pada ulama tidak akan pernah berhenti, oleh karena MTI harus back to basic (kembali ke dasar atau khittah perjuangan).   
2.      Nomeklatur dan Komitmen.
MTI yang lahir dari sejarah panjang pendidikan Islam perlu kembali menegaskan nomeklatur (penamaan diri). Menegaskan jati diri sebagai MTI, tentu akan menimbulkan kebanggaan pada khittah dan ghirah perjuangan. Lebih dari itu, sebutan MTI begitu spesifik dan akan menampakan komitmen pada tujuan yang akan dicapai. Komitmen kolektif – pimpinan yayasan, pengelola sekolah, segenap pihak yang ada di MTI-  tentang visi, misi, arah, tradisi dan nilai-nilai ke- MTI- an adalah penting untuk meluruskan arah perjuangan.    
3.      Daya tahan politik, dan politik keumatan.
MTI sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk terus berjalan di rel edukasi sepenuhnya. Menjadikan MTI dengan segala unsurnya memiliki daya tahan rayuan politik praktis adalah kerja mulia untuk kebaikan umat. Berfikir dan berkarya bahwa MTI adalah pembela dan pengerak politik keumatan adalah cara tepat untuk menghindarkan diri dari konflik intres jangka pendek. Mengembalikan tradisi dan cara hidup sederhana, qanaah, dan serangkaian nilai-nilai kesufiaan di lingkungan MTI adalah upaya baik untuk memperlambat lajunya pola materialistik.  
4.      Kaderisasi, internal, alumni dan paham keagamaan.
Hal penting lain yang harus dipikir ulang adalah merancang daily life (keseharian) di MTI. Aqidah  ahlussunah, amaliah syafi’yah, sikap hidup sufi, dan kebiasaan positif lainya adalah modal religious keluarga besar MTI yang bernilai tinggi.  Meneruskan social movement (gerakan sosial) pada semua strata di MTI adalah cara cerdas yang tentunya akan menaikkan citra diri MTI. Gerakan sosial keagamaan yang tumbuh dan bergerak begitu dinamis sejak awal berdirinya MTI patut ditumbuhkan kembangkan, guna untuk menegaskan keberadaan MTI dan sekaligus mewariskan nilai-nilai pendirian MTI.
Format kurikulum, untuk menjawab kebutuhan pada ulama iqamatuddin dan tafaquhfiddin.  Pengelola MTI dihimbau untuk tetap istiqamah. Mengembalikan MTI pada role pencetak ulama yang berkepribadian dan memiliki pengetahuan mumpuni dalam bidang-bidang turast (kitab berbahasa arab klasik). Amin. Ds.2 Mei 2013. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar