Jumat, 17 Mei 2013

Syekh Muhammad Djamil Jaho

“Ulama Pembaharu di Minangkabau”


Oleh: Zulfahmi
(Wasekum Pemuda Islam Sumatera Barat)


Inyiak Jaho, yang bernama lengkap Syekh Muhammad Djamil Jaho lahir pada tahun 1875 di Jaho. Ayahnya bergelar Datuk Garang yang berasal dari Negeri Tambangan, Padang Panjang. Sang ayah pernah menjabat sebagai Qadhi daerah. Ibunya adalah seorang perempuan yang disegani di tengah-tengah masyarakat. Muhammad jamil dibesarkan... di tengah keluarga yang kuat menjalankan tradisi dan agama. masa kecilnya dihiasi dengan nuansa religi yang sangat kental. Beliau belajar al-Qur’an dan kitab perukunan (kitab-kitab berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab) dari ayahnya sendiri. Berkat kecerdasan dan kesungguhannya, pada usia 13 tahun, Muahmmad Jamil telah hafal Al-Qur’an dan isi kitab perukunan.
Melihat kecerdasan dan kesungguhan Muhammad Jamil, sang ayah lalu berinisiatif untuk mengjarinya kitab-kitab kuning. 

Dalam beberapa waktu yang cukup singkat, Muhammad Jamil mampu mencerna maksud yang terkandung dalam kitab gundul tersebut, dan cakap menguasai bahasa Arab, baik secara lisan atau tulisan. Latar belakang keluarga yang alim inilah, yang membuat Muahmmad Jamil senantiasa haus akan ilmu agama, sehingga ia pun melanjutkan pengaisan ilmunya kepada ulama-ulama besar Minang di zaman itu. Muhammad jamil semakin tumbuh sebagai sosok yang senantiasa dahaga akan ilmu agama. maka ia pun pergi menuju halaqah atau majlis ilmu pesantren Syeikh al-Jufri di Gunung Rajo, Batipuh Padang Pajang. 

Selama belajar di pangkuan Syeikh al-Jufri, Muhammad Jamil menunjukkan ketekunan dan kecerdasannya sehingga ia pun menjadi murid kesayangan sang Syeikh. Ilmu agama yang telah ia kais pun kian hari kian banyak. Selain belajar ilmu agama beliaupun menyempatkan diri belajar ilmu bela diri dan silat. Selepas menyelesaikan belajar di halaqah pesantren Syeikh al-Jufri pada tahun 1893, Muhammad Jamil melanjutkan pendidikannya ke seorang ulama ahli fikih terkenal, Syeikh al-Ayyubi di Tanjung Bungo, Padang Ganting. 
Di pesantren barunya inilah Muhammad Jamil berteman akrab dengan Sulaiman ar-Rasuli, yang kelak menjadi seorang Syeikh terkenal dari Ranah Minang. Keduanya adalah santri yang pandai dan belajar dari Syeikh al-Ayyubi selama enam tahun. Selepas itu, keduanya melanjutkan mengaji ke Biaro Koto Tuo, sebuah tepat berkumpulnya ulama-ulama besar Minang, seperti Syeikh Abdus Shamad, Faqih Shagir, dan lain-lain.
Pada tahun 1899, Muhammad Jamil dan Sulaiman ar-Rasuli pindah mengaji ke Syeikh Abdullah Halaban, seorang ulama Minang yang terkenal mahir ilmu fikih dan ushul fikih. Di perguruan Syeikh Halaban inilah Muhammad Jamil dipercaya untuk menjadi seorang pengajar (ustadz) dan asisten pribadi syeikh Halaban yang kerap dibawa ke pengajian-pengajian keliling negeri Minang. Pada tahun 1908, atas dahaganya Muhammad Jamil akan ilmu agama, ia pun pergi ke Mekkah Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk mengais ilmu. Sebelum berangkat ke tanah suci, Muhammad Jamil dipersuntingkan dengan gadis Tambangan yang bernama Saidah, yang kelak mengaruniai dua orang puteri bernama Samsiyyah dan Syafiah. Sebelum berangkat ke tanah suci pula, paman Muhammad Jamil, Datuk bagindo Malano memberikannya gelar pusaka “Pakiah Bagindo Malano” sebuah gelar kehormatan.
Di Mekkah, Muhammad Jamil berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang putra Minang yang menjadi imam, khatib, sekaligus mufti madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Di Mekkah, beliau bertemu dan belajar bersama Syeikh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka). Keduanya menjadi murid kesayangan Syeikh Khatib, dan diberi kehormatan untuk membimbing dan mengajar murid-murid yang lain. Muhammad Jamil belajar di Mekkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia telah memperoleh tiga ijazah ilmiyyah dari tiga orang ulama besar di Mekkah pada zaman itu, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar madzhab syafi’i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar madzhab Maliki), dan Syeikh Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali). Sekembalinya dari tanah suci, Syeikh Jamil menjadi ulama terkenal dan disegani karena kedalaman ilmunya dan kesolehan pribadinya.
Pada tahun 1922, bersama-sama syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan Syeikh Abdul Karim, beliau mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau (Ittihadul Ulama) dan perguruan Islam Thawalib serta menghormati rekan-rekannya yang berada dalam Tarbiyah, Muhammadiyah, Al-Jam’iyatul Washliyah, Nahdhatul Ulama, sampai menangani berbagai persoalan secara bersama di dalam Majelis Islam Tinggi (MIT) yang diketuai buya Candung. Setelah kegiatan beliau di Persatuan Ulama, maka tahun 1926 beliau mengembangkan Persatuan Umat Islam (PUI) serta Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan dan beliau sendiri menjadi ketua umum Cabang Muhammadiyah Kota Padang Panjang, namun keluar dari Muhammadiyah setelah pulang dari Kongres di Pekalongan Jawa Tengah pada tahun 1927.
Di kampung halamannya pula, Syeikh Muhammad Jamil membuka halaqah pengajian yang banyak didatangi oleh para pengais ilmu. Halaqah ini kelak menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho. Perkembangan pesantren (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan para ulama tersebut berkembang pesat, ribuan santri dari pelosok nusantara bahkan dari luar negeri datang menuntut ilmu ke ranah minang. Pada tanggal 5 Mei 1928 Syekh Muhammad Jamil beserta Syekh Sulaiman Arrasuli dan ulama-ulama Syafi’iyyah lainnya sepakat mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (disingkat PTI pada tahun 1930 disingkat PERTI)) di Candung. Organisasi ini sebagai wadah perhimpunan MTI-MTI yang ada serta jamaah Ahlussunnah Wal Jamaah Mazhab Syafi’i. sampai sekarang organisasi tersebut masih eksis di tengah-tengah ummat dalam pendidikan, dakwah dan sosial. 

Sejak adanya PTI maka pesantren-pesantren yang dulunya berbentuk halaqah (mangaji duduak) dirubah menjadi sistem madrasah (Sekolah) yang memakai bangku, papan tulis dan sebagainya. Di MTI Jaho sendiri beliau terus mengembangpesatkan madrasahnya sehingga terkenal di berbagai pelosok negeri. Dengan pengkaderan yang begitu konsisten maka lahirlah ulama-ulama muda yang menjadi panuta karena dalamnya ilmu agama dan pandai menyampaikannya sesuai kultur masyarakat kita. Sebagian besar alumninya mendirikan pesantren di kampong halamannya masing-masing, seperti mendirikan MTI Tanjung Barulak, MTI Malalo, MTI Sumani, MTI Koto Hilalang, Pondok Pesantren Daarut Tauhid Selayo, Darul Ulum Air Pacah dan lain sebagainya. Banyak pula alumninya yang tidak mendidikan pesantren, namun berkiprah pada TNI, Polri, Politisi, Dosen, Pengusaha dan lainnya hingga sekarang.
Syeikh Inyiak Muhammad Jamil Jaho wafat pada tanggal 2 November 1945. Beliau banyak meninggalkan kaya berharga yang menjadi suluh ummat di kemudian hari, di antara karya tulis beliau yaitu Tadzkiratul Qulub fil Muraqabah ‘Allamul Ghuyub, Nujumul Hidayah, as-Syamsul Lami’ah, fil ‘Aqidah wad Diyanah, Hujjatul Balighah, al-Maqalah ar-Radhiyah, Kasyful Awsiyah, dan lain-lain. Beliau adalah ulama yang kharismatik, selalu bersikap luwes dan terbuka, sangat cermat dan hati-hati dalam memandang sikap serta pendapat orang lain yang berbeda dengan beliau. Dihormati oleh kaum muda dan disegani kaum tua. Ini patut dicontoh oleh ulama-ulama saat ini. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar