Oleh : Duski Samad
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN IB
Terbit di Padang Ekspres • Jumat, 21/06/2013
Pembicaraan soal
jumlah anak di Indonesia masih tetap hangat dibicarakan, karena
pertambahan penduduk masih menjadi masalah penting harus ditangani
pemerintah bersama masyarakat. Tulisan ini muncul sebagai respons masih
akutnya pertambahan penduduk dan masalah kependudukan lainnya.
Pencermatan penulis terhadap artikel Babby Boom di Inggris oleh Elfindri (Teras Utama Padang Ekspres,
19 Juni 2013) adalah bahwa penulisnya ingin menyadarkan bangsa
Indonesia bahwa jumlah anak yang terbatas, 1 atau 2 orang merupakan
budaya hidup masyarakat modern di Eropa, dan itu sudah dilakukan sejak
1980 lalu.
Rendahnya capaian angka kelahiran di Eropa, di mana sejak 1980 angka net replacement rate (NRR) sudah di bawah satu, adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya wanita masuk pasar kerja.
Begitu juga soal pandangan terhadap
pentingnya pendidikan anak, dan pemaknaan bahwa anak begitu tinggi,
serta memiliki hak-hak lebih mulia, sehingga jumlah anak dalam satu
keluarga menjadi perhatian. Namun, kondisi itu belum tentu dapat
disamakan dengan masyarakat Indonesia.
Pemaknaan tentang anak bagi masyarakat
Indonesia memiliki arti teologi (keyakinan agama) dan nilai budaya.
Mengingat kuatnya pengaruh teologi, budaya dan harga diri pada anak,
maka pilihan orang atau pasangan suami istri terhadap jumlah anak
tidaklah mudah dipukul rata. Ada pasangan memutuskan jumlah anaknya 1
atau 2 orang, karena memang atas pertimbangan pendidikan, ekonomi, dan
kesejahteraannya. Begitu juga ada pasangan memilih jumlah anaknya
lebih dari 2 orang, karena alasan keyakinan agama, dorongan budaya dan
kekuatan ekonomi dipunyainnya.
Dalam Islam, pandangan soal anak dan
keluarga adalah reformasi dari kaum jahiliyah. Di lingkungan Arab
jahiliyah, anak laki-laki dipandang dapat mengangkat status sosial
keluarga, sedangkan perempuan justru ancaman keluarga. “Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.” (QS An-Nahl: 58.).
Ketimpangan dan perlakuan tidak adil
antara anak laki-laki dan perempuan masyarakat Arab jahiliyah kemudian
diperbaiki Allah lewat memberikan kesamaan hak dan kedudukan antara
anak laki-laki dan perempuan. “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) nama-Nya, kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS Al-Nisa’:
1).
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dikembangkan sedemikian rupa, lewat tidak ada bedanya nilai amal kedua belah pihak. “Barangsiapa
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman. Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan baik
[Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam
mendapat pahala sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman]. Dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala lebih
baik dari apa mereka kerjakan. (QS Al-Nahl: 97).
Dalam hubungannya dengan kehidupan nyata
dan tanggung jawab sosial, antara laki-laki dan perempuan harus dapat
melakukan tugasnya secara seimbang (QS Al-Baqarah: 28).
Bila ditelusuri ajaran agama Islam, Allah
SWT telah memberikan tuntunan tentang bagaimana seharus berkeluarga
dan memiliki keturunan. Tuntunan tersebut muncul dalam bentuk kewajiban
dan tanggung jawab suami kepada istri dan sebaliknya, serta kewajiban
dan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya. Bila semua kewajiban
dan tanggung jawab dari masing-masing pihak dapat dipenuhi, niscaya
keluarga akan berjalan tentram, tidak ada perselisihan, percekcokan
maupun kasus-kasus perselingkuhan.
Bentuk-bentuk kewajiban dan tanggung jawab
suami adalah memimpin dan membimbing keluarga lahir batin, melindungi
istri dan anak-anak, memberikan nafkah lahir dan batin sesuai kemampuan,
mengatasi keadaan, dan mencari penyelesaian secara bijaksana, serta
tidak bertindak sewenang-wenang.
Bentuk kewajiban dan tanggung jawab istri
adalah menghormati dan mencintai suami, mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya, dan memelihara, serta menjaga kehormatan rumah tangga.
Dalam hubungan suami istri ada pula aturan-aturan yang menjadi
kewajiban istri dan hak suami meliputi seorang istri haruslah mematuhi
suami. Memilihara harta dan citra diri suami dan istri. Istri harus
bersedia dibawa berpergian atau mendampingi suami dalam perjalanan.
Istri harus bersedia digauli, tidaklah pantas seorang istri menolak bila
diajak berhubungan dengannya. Bila suami di rumah, istri tidak
dianjurkan puasa sunat.
Hal lain juga harus mendapat perhatian
dalam Islam adalah kewajiban suami dan merupakan hak istri meliputi,
memenuhi kebutuhan pokok istri. Memenuhi kebutuhan biologis. Memberitahu
bila berpergian. Berlaku adil bila poligami. Fatwa Umar minimal dalam 4
hari tidur bersama istri.
Sedangkan berkaitan anak, ada 10 hak anak
menjadi pencerminan dari kewajiban dan tanggung jawab orangtua,
yaitu; (1) Hak akan kesucian keturunan; (2) Hak untuk hidup; (3) Hak
atas keabsahan dan nama baik; (4) Hak akan penyusuan, tempat kediaman,
pemeliharaan, termasuk perawatan kesehatan dan nutrisi; (5) Hak
pengaturan tidur terpisah, (6) Hak keamanan di masa depan; (7) Hak atas
pendidikan agama dan perilaku baik; (8) Hak atas pendidikan dan latihan
olahraga serta beladiri; (9) Hak atas perlakuan yang adil; (10) Hak
bahwa semua dana digunakan untuk menafkahi mereka hanya berasal dari
sumber-sumber halal. Ayat-ayat Al Quran menguraikan tentang hak-hak
anak tersebut dapat dilihat pada surat Al-An’am ayat 151, Surat Al-Isra’
ayat 31, Al Baqarah ayat 233, dan beberapa hadis nabi.
Maka, secara teologis tidak ada alasan
pasangan keluarga membatasi jumlah anak. Membuat perencanaan matang
tentang jumlah anak akan lahir dalam satu keluarga, adalah bentuk
ikhtiar memenuhi hak-hak anak itu. Memiliki jumlah anak terbatas, 1 dan
atau 2 orang, tentu akan memberikan kesempatan lebih luas bagi orangtua
memenuhi hak-hak anak.
Pandangan teologis yang sering dijadikan
alasan bagi pasangan yang menolak keluarga berencana dalam artian
mengendalikan jumlah kelahiran adalah bahwa soal anak adalah takdir
yang tak boleh dibantah. Allah SWT memberi manusia kelengkapan
pemikiran (akal) untuk menentukan pilihan (ikhtiar), tak terkecuali
dalam menentukan jumlah anak. Maka tidaklah dapat dikatakan melawan
takdir, ketika keluarga menentukan jumlah anaknya. Karena, jumlah anak
berkaitan erat dengan kesanggupan memenuhi hak-hak anak.
Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk
disadari secara kolektif adalah pengaruh budaya yang menjadikan anak
tidak menurut semestinya. Orangtua yang menjadikan anak sebagai tenaga
kerja yang akan membantunya adalah bentuk lain dari lemahnya budaya
menghargai anak. Begitu juga bila anak dijadikan sumber pendapatan
keluarga adalah sisi lain dari pengaruh budaya yang menghambat
tumbuhnya anak secara baik. Mestinya harus dapat dibangun pola budaya
yang mendorong tumbuhnya kesadaran bersama bahwa anak adalah investasi
yang harus dikembangkan sebaik mungkin.
Bangunan budaya yang memberikan
penghargaan pada anak sebagai sosok orang dewasa masa depan dipastikan
akan melahirkan kebudayaan yang proanak. Jumlah dan kualitas anak
diharapkan menjadi pertimbangan pasangan yang akan menentukan jumlah
anak yang akan dilahirkannya. Membiarkan jumlah kelahiran anak
melawati batas kemampuan ekonomi, sosial dan kehidupan adalah
ancaman kolektif untuk keluarga tersebut dan sekaligus untuk
masyarakat.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa program
pengendalian jumlah penduduk, menjadikan keluarga berkualitas dengan
jumlah anak dua orang, adalah upaya dan ikhitiar yang harus didukung.
Penambahan jumlah penduduk, lalu lahir anak-anak tidak terdidik atau
tidak berkualitas, adalah beban bersama yang dapat menimbulkan ekses
sosial. Siapa pun akan mudah menerima program pengendalian penduduk,
dan jumlah anak bila pertimbangan iman, rasio dan kesadaran kolektif
berkelindan dengan baik. Semoga program pengendalian penduduk mendapat
perhatian lebih baik di masa datang. Amin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar