oleh:
DUSKI SAMAD
Ketua DPD PERTI Sumatra Barat
A.
Mukaddimah
š
Mengukur
kedewasaan adalah wahana untuk memperoleh hikmah dan ilmu, karena memang
kebaikan tertinggi hanya akan diberikan kepada mereka dicatat sebagai muhsinin (pelaku kehidupan yang
murni karena-Nya).
Artinya: Dan
tatkala Dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya Hikmah dan ilmu. Demikianlah
Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf,
12:22)
B.
Berkaca
Sejarah
Sejarah emas yang ditorehkan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
adalah modal sosial yang dapat dikembangkan untuk merenda masa depan lembaga
umat ini. Sejarah adalah guru yang akan terus mampu mengajari anak zamannya.
Sejarah yang hadir sebagai buah kerja keras dan perjuangan tak kenal
menyerahkan patut dibaca untuk dijadikan spirit perjuangan hari ini dan masa
datang. Setelah 87 tahun MTI (5 Mei 1928 – 5 Mei 2013) berkiprah mendidik umat,
kini dapat diurut dan maknai perjalanan sejarahnya:
1. Surau Berhalaqah.
Sejalan
dengan gerak dakwah dan pendidikan Islam di awal abad 20 lalu, ulama ahlussunah
waljamaah, as-Syafiiyah di Minangkabau, memainkan peran penting lewat lembaga
pendidikan surau. Surau Inyiak Candung dan Surau Inyiak Jaho adalah di antara lembaga
pendidikan yang dikenal luas mendidik anak-anak bangsa dari berbagai daerah.
Kiprah ulama surau pada era pembaharuan ini bukan saja sebagai simpul
keagamaan, akan tetapi juga pusat gerakan pencerdasan dan kemasyarakatan.
Dinamisnya
gerakan pembaharuan pemikiran yang berkelindan dengan usaha untuk mengusir
penjajahan Belanda di paruh awal tahun 1900- an adalah momentum berkembangnya
surau menjadi lembaga pendidikan modern. Perubahan alam pikiran ulama pegiat
perubahan untuk meningkatkan pola pembelajaran halaqah menjadi klasikal adalah
babak baru pengembangan lembaga pendidikan Islam di Minangkabau. Satu di
antaranya adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI).
2. Surau
Berkelas.
Berdirinya
MTI adalah bukti kuatnya semangat pembaharuan di dada ulama ahlussunah yang
merupakan pengembangan halaqah. Pertemuan pimpinan halaqah surau yang
dikomandoi oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, akhirnya menyepakati mengubah
(konversi) surau menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah disingkat MTI. Dari MTI
ini pada akhirnya dilahirkan organisasi yang bernama PERTI. PERTI lahir di Nagari
Candung Bukittinggi ranah Minangkabau, Sumatera Barat, pada tanggal 5 Mei 1928.
Ketika itu berkumpullah ulama dan pemimpin Madrasah Tarbiyah Islamiyah untuk
mengikat diri dalam satu wadah yang mereka sepakati dengan nama Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Dalam rentang sejarah panjang PERTI patut sekali
ditangkap makna dinamika yang telah dijalaninya.
Hebatnya perjuangan
PERTI dalam lapangan pendidikan, dakwah, sosial dan politik ternyata kini telah menjadikan PERTI dikenal dan salah
satu khazanah nasional. Kenyataan ini diungkap oleh Prof. Dr.Alidin Koto dalam
bukunya Pemikiran Politik PERTI. Pada halaman 9 Alaidin menulis, bahwa priode tahun 1945-1970 adalah masa PERTI berstatus sebagai partai politik dan
setelah tahun 1970, PERTI terbelah menjadi dua, yang satu menyalurkan aspirasi
politiknya ke Golkar disebut dengan TARBIYAH dan lainnya menyalurkan aspirasi
politiknya ke PPP inilah yang masih kokoh menyebut dirinya dengan PERTI. Dinamika ini
pulalah yang menjadikan MTI ikut terbawa arus dalam perubahan gerakan dan sikap
pendidikan yang diembannya.
3. Surau Pola
Madrasah.
Bersamaan
dengan derasnya arus tarik menarik politik di lingkungan internal MTI, di
lembaga pendidikan agama pihak Kementerian Agama memperkenalkan pula kurikulum Madrasah
tahun 1975. Kurikulum Madrasah memberikan kesempatan yang sama untuk tamatan
Madrasah melanjutkan kependidikan tinggi umum. Menjadikan pengetahuan umum 70
persen di Madrasah dan 30 persen pengetahuan agama, ini akhirnya membawa badai
perubahan bagi MTI.
Ada MTI yang
mengadopsi kurikulum ini yang berakibat tergerus pondasi dasar ke MTI- an,
khususnya pembelajaran kitab kuning. Ada pula yang mencoba melakukan inovasi
dengan mengabungkan antara kurikulum Madrasah dengan MTI. Ada juga yang masih
bertahan pada pola pembelajaran MTI yang asli, baik materi ajar, kitab yang
dipakai, metode pengajaran dan tradisi kehidupan di surau.
Perubahan penting
pondasi pelajaran agama di Madrasah telah membawa dampak yang tidak kecil bagi
perkembangan MTI, karena civil effect –
penyamaan ijazah Madrasah dengan sekolah umum – telah membuat masyarakat
meninggalkan MTI, khususnya mereka yang masih bertahan dengan pola lama.
4.
Surau,
Madrasah dan Pondok Pesantren
Perkembangan
lanjutan dari MTI adalah hadirnya madrasah yang memadukan antara surau,
madrasah dan Pesantren. Pola surau yang menjadi ciri khas MTI tetap
dipertahankan, sementara pembelajaran mengunakan kurikulum Madrasah Negeri.
Untuk formal pada kementrian agama dan pemerintah, MTI memakai istilah Pondok Pesantren.
Kebijakan ini akhirnya membawa dampak positif terutama dalam bentuk bantuan
pemerintah lewat jalur Madrasah dan Pesantren.
5. Sekolah Bercirikan
Madrasah.
Berlakunya
undang-undang sistim pendidikan Nasional yang menempatkan Madrasah sebagai
sekolah umum yang bercirikan agama adalah juga membawa dampak tersendiri bagi
dunia MTI. Ada MTI yang menyesuaikan diri dengan arah kurikulum pendidikan
seperti di maksud pemerintah, guna memberikan kesempatan kepada anak didik
untuk ujian negara, ini lebih banyak. Meskipun, beberapa MTI tetap istiqamah
dengan kurikulum, tradisi dan nilai yang dianutnya sejak awal.
C.
Tawaran
Pemikiran
1.
Reorentasi
Visi, Misi dan Harakah Perjuangan.
Pendidikan adalah entri point bagi kemajuan. Pengabaian
pendidikan lonceng kematian. Menyusun potensi, menyamakan misi, visi. strategi,
dan mengokohkan kompetensi MTI dengan segenap jajaran, mengarap lahan
keummatan, membangun institusi kader ulama, cendikiawan dan pengembang ummat
adalah tidak bisa ditunda lagi. Membuka akses pendidikan kedunia Islam adalah
agenda, harus segera disingkap kembali. Peduli pada pendidikan ulama dan
keulamaan tidak dapat tidak harus ditumbuhkan dilingkungan MTI.
Mencermati
tantangan masa datang yang cendrung semangkin materialis dan pragmatis, maka
perlu ditajdid kembali visi, misi dan
orentasi MTI. Merumuskan cita-cita luhur, tujuan kelembagaan dan arah yang
ingin dicapai oleh MTI adalah cara tepat
untuk merancang MTI di masa depan.
Singkat kata, semua komponen di MTI hendaknya segera
memastikan bahwa MTI pada dasarnya adalah lembaga kaderisasi ulama. Kebutuhan
umat pada ulama tidak akan pernah berhenti, oleh karena MTI harus back to basic (kembali ke dasar atau
khittah perjuangan).
2.
Nomeklatur
dan Komitmen.
MTI yang
lahir dari sejarah panjang pendidikan Islam perlu kembali menegaskan nomeklatur
(penamaan diri). Menegaskan jati diri sebagai MTI, tentu akan menimbulkan
kebanggaan pada khittah dan ghirah perjuangan. Lebih dari itu, sebutan MTI
begitu spesifik dan akan menampakan komitmen pada tujuan yang akan dicapai.
Komitmen kolektif – pimpinan yayasan, pengelola sekolah, segenap pihak yang ada
di MTI- tentang visi, misi, arah,
tradisi dan nilai-nilai ke- MTI- an adalah penting untuk meluruskan arah
perjuangan.
3.
Daya tahan
politik, dan politik keumatan.
MTI sebagai
lembaga pendidikan dituntut untuk terus berjalan di rel edukasi sepenuhnya.
Menjadikan MTI dengan segala unsurnya memiliki daya tahan rayuan politik
praktis adalah kerja mulia untuk kebaikan umat. Berfikir dan berkarya bahwa MTI
adalah pembela dan pengerak politik keumatan adalah cara tepat untuk
menghindarkan diri dari konflik intres jangka pendek. Mengembalikan tradisi dan
cara hidup sederhana, qanaah, dan
serangkaian nilai-nilai kesufiaan di lingkungan MTI adalah upaya baik untuk
memperlambat lajunya pola materialistik.
4.
Kaderisasi,
internal, alumni dan paham keagamaan.
Hal penting lain yang harus dipikir ulang
adalah merancang daily life (keseharian)
di MTI. Aqidah ahlussunah, amaliah
syafi’yah, sikap hidup sufi, dan kebiasaan positif lainya adalah modal
religious keluarga besar MTI yang bernilai tinggi. Meneruskan social movement (gerakan sosial) pada
semua strata di MTI adalah cara cerdas yang tentunya akan menaikkan citra diri
MTI. Gerakan sosial keagamaan yang tumbuh dan bergerak begitu dinamis sejak
awal berdirinya MTI patut ditumbuhkan kembangkan, guna untuk menegaskan keberadaan
MTI dan sekaligus mewariskan nilai-nilai pendirian MTI.
Format kurikulum, untuk menjawab kebutuhan pada ulama
iqamatuddin dan tafaquhfiddin. Pengelola MTI dihimbau untuk tetap istiqamah.
Mengembalikan MTI pada role pencetak
ulama yang berkepribadian dan memiliki pengetahuan mumpuni dalam bidang-bidang turast (kitab berbahasa arab klasik).
Amin. Ds.2 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar