TINGKATKAN KUALITAS MTI
(Refleksi Milad PERTI ke-85)
Oleh: Muhammad Kosim
Terbit di Harian Haluan, 4 Mei 2013
Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (disingkat PERTI atau Tarbiyah) merupakan ormas nasional yang
lahir dari Ranah Minang pada tanggal 5 Mei 1928. Organisasi ini telah
banyak melahirkan ulama yang konsisten mempertahankan i’tiqad ahl al-sunnah wa al-jamaah dan bermazhab Syafi’i, baik di tingkat lokal hingga ke pentas nasional.
Basis utama Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah Madrasah
Tarbiyah Islamiyah (MTI), sebagai lembaga pendidikan Islam formal
tertua di Sumatera Barat di kalangan umat yang berpaham ahl al-sunnah wa al-jamaah dan bermazhab Syafi’i. Karena itu, organisasi ini tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan Islam.
Tidak terhitung jumlah ulama yang dilahirkan oleh
madrasah ini. Mereka berkiprah di Sumatera Barat hingga ke pentas
nasional. Hingga kini, kiprah alumni MTI pun cukup terasa baik di bidang
akademisi, maupun sosial-politik. Penguasaan mereka terhadap ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fi al-din) tak diragukan lagi, sehingga terbentuk imej masyarakat, “jika ingin menjadi ulama belajarlah ke MTI.”
Berdirinya organisasi ini tidak terlepas dari peran tokoh sentral, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, atau dikenal dengan Inyiak Canduang. Ia adalah ulama kharismatik yang pernah belajar kepada imam masjid al-Haram, Mekah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seperguruan dengan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Ia juga dikenal sebagai ketua pertama Mahkamah Syari’ah Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi.
Sekembalinya dari Mekah, ia aktif mendidik di Surau Baru
Canduang. Namun, pada tahun 1926, atas usulan sahabatnya, Syekh Abbas
Qadhi Ladang Lawas, beserta murid-muridnya, maka dilakukan perubahan
sistem pendidikan halaqah di surau menjadi sistem klasikal. Maka lembaga pendidikan yang ia pimpin diberi nama “Madrasah Tarbiyah Islamiyah”.
Dua tahun berikutnya (5 Februari 1928), Inyiak Canduang
mensponsori pertemuan besar para ulama Minangkabau bermazhab Syafi’i di
Canduang. Dalam pertemuan itu, lahirlah organisasi Persatuan Madrasah
Tarbiyah Islamiyah, di singkat dengan PMTI, sebagai organisasi yang
bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan
Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada.
Tidak saja di bidang pendidikan, organisasi ini pun
diinginkan berkiprah di bidang sosial sehingga pada tanggal 19-20 Mei
1930 dilangsungkan Konfrensi Besar di Canduang. Salah satu keputusannya
adalah mengubah PMTI menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat
PTI.
Dalam konfrensi tanggal 11-16 Februari 1938,
nama/singkatan PTI diganti menjadi PERTI dan disahkan dalam Kongres II,
28 April – 5 Mei 1939 M/8 – 15 Rabi’ul Awal 1958. Pascakemerdekaan RI,
PERTI mengembangkan kiprahnya hingga ke dunia politik sehingga muncullah
Partai Islam PERTI. Namun, pengembangan sayap ke ranah politik ini
tidak sepenuhnya menguntungkan, terutama dalam pengembangan pendidikan
di MTI sebagai cita-cita awal.
Pada tahun 1969, Syekh Sulaiman ar-Rasuli menghimbau
(dekrit) agar PERTI menanggalkan statusnya sebagai partai politik dan
kembali ke khittah semula sebagai organisasi sosial dan
keagamaan yang tugas utamanya adalah meninggikan syiar agama dan membina
pendidikan Islam. Maka pada tanggal 2-4 Juli 1970 diadakan Musyawarah
Besar Luar Biasa di Bukittinggi. Salah satu keputusannya adalah
mengukuhkan dekrit Syekh Sulaimanar-Rasuli dengan menjadikan organisasi
ini sebagai organisasi non-politik, dan sebutan nama organisasia dalah
“Persatuan Tarbiyah Islamiyah.”
Sayang, hingga kini organisasi kebanggaan masyarakat
muslim Minangkabau ini masih belum bersatu. Yang satu menamakan dirinya
sebagai “PERTI”, yang lainnya menakaman “Tarbiyah”, padahal pendirinya
dan paham keagamaannya sama serta basisnya juga sama-sama MTI.
Karena itu, kedua kubu organisasi ini mesti bersatu.
Jika belum bisa juga bersatu secara struktural, perlu menyatukannya
secara kultural dengan membentuk semacam forum komunikasi yang fokus
pada upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam melalui MTI. Dengan
begitu, diharapkan akan lahir kader ulama-ulama handal, dalam istilah
Inyiak Canduang : ulama matohari, yaitu suluah bendang di nagari, cermin taruih dalam suku, kok hiduik bakih batanyo, kok mati tampek bakawal, itu ulama sabananyo.
Namun, beberapa nama MTI yang dulunya tegak berdiri kini
tak lagi dikenal, bahkan ada pula yang tutup sama sekali. Lain lagi
dengan kualitas beberapa MTI yang memprihatinkan dan setiap tahun jumlah
santrinya kian menurun.
Untuk itu, Persatuan Tarbiyah Islamiyah boleh
mengembangkan kiprahnya di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, dan aspek
lainnya, tetapi kiprahnya di bidang pendidikan mesti dikedepankan.
Sebab pendidikan merupakan mesin kemajuan organisasi ini yang
memproduksi ulama berkarakter ahl al-sunnah wa al-jamaah.
Dalam konteks inilah, optimalisasi peran Persatuan
Tarbiyah Islamiyah secara bersama-sama / bersatu mesti ditingkatkan
untuk membenahi dan meningkatkan kualitas pendidikan Islam melalui MTI.
Setidaknya ada beberapa hal yang patut dilakukan.
Pertama, orientasi kurikulum. Ciri khas MTI terletak pada ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fi al-din)
yang dikembangkannya. Karena itu, lulusan MTI menguasai ilmu alat
sehingga mampu membaca dan memahami kitab standar sebagai rujukan utama
dalam kajian Islam.
Namun kualitas lulusan MTI hari ini selalu dikeluhkan
oleh buya-buya senior, karena berbeda kemampuannya dengan alumni
generasi awal. Salah satu yang dianggap penyebab utamanya adalah
terlalu banyak mata pelajaran yang diterapkan.
Paling tidak, ada tiga bentuk kurikulum yang dipelajari
oleh santri, kurikulum nasional / umum (Permendiknas No. 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi), kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah
(Permenag No. 2 Tahun 2008), dan kurikulum pondok pesantren dengan
kitab-kitab standar yang menjadi ciri khasnya. Akibatnya, lebih 20 mata
pelajaran yang harus dikuasai oleh para santri.
Dampaknya, santri tidak lagi fokus mempelajari kurikulum
pondok pesantren yang menjadi jati diri MTI itu sendiri. Hanya santri
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan bersungguh-sungguh yang
dapat menguasainya dengan baik, itu pun hanya sekelompok kecil.
Demikian yang sering dikeluhkan.
Tampaknya, keluhan ini ada benarnya. MTI memang harus
mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tetapi jangan sampai
kehilangan identitasnya. MTI boleh bertransformasi menjadi lembaga
pendidikan Islam modern dengan model kurikulum yang beragam. Bisa
membuka program studi IPA, IPS, bahkan kejuruan sekali pun.
Akan tetapi setiap MTI sejatinya memiliki standar minimal, seperti mampu membaca dan memahami kitab standar, beri’tikad ahl al-sunnah wa al-jama’ah, dan bermazhab Syafi’i.
Selain memiliki standar minimal, MTI juga harus mengadakan kelas takhashshush sejak
kelas satu hingga kelas enam / tujuh yang hanya mempelajari kitab-kitab
standar. Jika pun ada ilmu-ilmu umum, tidak sebanyak kelas lain,
sehingga melalui kelas ini akan lahir kader ulama yang benar-benar
menguasai kajian keislaman.
Jika hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan ulama yang
benar-benar berilmu akan semakin langka di negeri mayoritas muslim ini.
Jika ulama tanpa ilmu, maka umat akan tersesat, menyalahkan yang benar
dan meghalalkan yang haram.
Dalam konteks ini, MTI harus merumuskan suatu model
kurikulum yang sesuai dengan tuntan zaman, tanpa kehilangan jati
dirinya. Disinilah dibutuhkan keberanian pimpinan MTI merumuskan model
kurikulum yang dimaksud.
Kedua, memelihara tradisi MTI. Ada beberapa
tradisi yang unik dari MTI. Di antaranya, kitab yang mereka pelajari
adalah kitab kuning / standar. Mereka mampu membaca matan atau teks dari kitab tersebut dengan segala seluk-beluknya dan mampu pula memahami maksudnya.
Mereka juga membentuk forum mudzakarah untuk
menganalisis suatu persoalan yang aktual di tengah-tengah masyarakat.
Dalam forum ini, terjadi perdebatan yang cukup alot sehingga dihasilkan
suatu kesimpulan di bawah bimbingan buya/kiyai.
Kedua pola di atas, membuat santri memiliki kemampuan
berpikir yang kritis dan analisis. Mereka tidak mudah menyalahkan,
apalagi mengkafirkan orang lain.
Tradisi penting lainnya adalah adanya guru tuo, yaitu santri di tingkat Aliyah menjadi tutor bagi
santri tingkat Tsanawiyah. Waktu pembelajarannya biasanya dilakukan
malam hari di surau atau asrama. Bahkan antara santri Aliyah yang satu
dengan lainnya “bersaing” untuk mendidik adik-adiknya agar keesokan
harinya, adik kelas bimbingannyalah yang lebih unggul dan lebih
menguasai materi yang diajarkan.
Oleh karena itu, setiap santri Aliyah mesti memiliki
kemampuan untuk membina adik-adiknya. Mereka juga dihormati oleh santri
binaannya. Melalui pola ini, santri Aliyah belajar untuk mengajar,
santri Tsanawiyah pun mendapat binaan khusus yang lebih komunikatif
karena dalam bimbingan kelompok kecil.
Tidak itu saja, pola ini juga menciptakan hubungan yang harmonis. Guru tuo menyayangi santri binaannya. Santri binaan pun menghormati guru tuo-nya. Adab seperti inilah yang sesungguhnya mendatangkan keberkahan ilmu.
Tradisi ini kian hari semakin berkurang. Bahkan sejumlah
MTI yang pernah penulis kunjungi tak lagi memelihara beberapa tradisi
di atas. Akibatnya kualitas MTI pun kian dipersoalkan.
Inilah yang harus menjadi perhatian Tarbiyah Islamiyah.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah mesti berupaya mengotimalkan segala
kekuatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di MTI.
Kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi guru, optimalisasi
manajerial, hingga reformulasi kurikulum perlu didorong dan
dikoordinasikan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Masih banyak ide-ide cerdas yang akan muncul dari
kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah untuk meningkatkan kualitas MTI,
jika ide-ide itu diorganisir secara profesional.
Dengan begitu, MTI akan bermutu, Persatuan Tarbiyah Islamiyah berjaya, dan tingkat religiusitas umat pun akan berkualitas. Insya Allah.
3T titanium spork - Classic Aluminum Art for the USA
BalasHapusA new premium steel used titanium mesh to produce high quality pieces of metal for sale, 1 stainless steel blade. titanium bmx frame Tested micro touch trimmer in 1995, titanium rod in femur complications 2 used ford escape titanium titanium spork stainless steel.