“Ulama Pembaharu di Minangkabau”
Oleh: Zulfahmi
(Wasekum Pemuda Islam Sumatera Barat)
Inyiak Jaho, yang bernama lengkap Syekh Muhammad Djamil Jaho lahir pada
tahun 1875 di Jaho. Ayahnya bergelar Datuk Garang yang berasal dari
Negeri Tambangan, Padang Panjang. Sang ayah pernah menjabat sebagai
Qadhi daerah. Ibunya adalah seorang perempuan yang disegani di
tengah-tengah masyarakat. Muhammad jamil dibesarkan...
di tengah keluarga yang kuat menjalankan tradisi dan agama. masa
kecilnya dihiasi dengan nuansa religi yang sangat kental. Beliau belajar
al-Qur’an dan kitab perukunan (kitab-kitab berbahasa Melayu yang
ditulis dengan huruf Arab) dari ayahnya sendiri. Berkat kecerdasan dan
kesungguhannya, pada usia 13 tahun, Muahmmad Jamil telah hafal Al-Qur’an
dan isi kitab perukunan.
Melihat kecerdasan dan kesungguhan
Muhammad Jamil, sang ayah lalu berinisiatif untuk mengjarinya
kitab-kitab kuning.
Dalam beberapa waktu yang cukup singkat, Muhammad
Jamil mampu mencerna maksud yang terkandung dalam kitab gundul tersebut,
dan cakap menguasai bahasa Arab, baik secara lisan atau tulisan. Latar
belakang keluarga yang alim inilah, yang membuat Muahmmad Jamil
senantiasa haus akan ilmu agama, sehingga ia pun melanjutkan pengaisan
ilmunya kepada ulama-ulama besar Minang di zaman itu. Muhammad jamil
semakin tumbuh sebagai sosok yang senantiasa dahaga akan ilmu agama.
maka ia pun pergi menuju halaqah atau majlis ilmu pesantren Syeikh
al-Jufri di Gunung Rajo, Batipuh Padang Pajang.
Selama belajar di
pangkuan Syeikh al-Jufri, Muhammad Jamil menunjukkan ketekunan dan
kecerdasannya sehingga ia pun menjadi murid kesayangan sang Syeikh. Ilmu
agama yang telah ia kais pun kian hari kian banyak. Selain belajar ilmu
agama beliaupun menyempatkan diri belajar ilmu bela diri dan silat.
Selepas menyelesaikan belajar di halaqah pesantren Syeikh al-Jufri pada
tahun 1893, Muhammad Jamil melanjutkan pendidikannya ke seorang ulama
ahli fikih terkenal, Syeikh al-Ayyubi di Tanjung Bungo, Padang Ganting.
Di pesantren barunya inilah Muhammad Jamil berteman akrab dengan
Sulaiman ar-Rasuli, yang kelak menjadi seorang Syeikh terkenal dari
Ranah Minang. Keduanya adalah santri yang pandai dan belajar dari Syeikh
al-Ayyubi selama enam tahun. Selepas itu, keduanya melanjutkan mengaji
ke Biaro Koto Tuo, sebuah tepat berkumpulnya ulama-ulama besar Minang,
seperti Syeikh Abdus Shamad, Faqih Shagir, dan lain-lain.
Pada tahun
1899, Muhammad Jamil dan Sulaiman ar-Rasuli pindah mengaji ke Syeikh
Abdullah Halaban, seorang ulama Minang yang terkenal mahir ilmu fikih
dan ushul fikih. Di perguruan Syeikh Halaban inilah Muhammad Jamil
dipercaya untuk menjadi seorang pengajar (ustadz) dan asisten pribadi
syeikh Halaban yang kerap dibawa ke pengajian-pengajian keliling negeri
Minang. Pada tahun 1908, atas dahaganya Muhammad Jamil akan ilmu agama,
ia pun pergi ke Mekkah Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk
mengais ilmu. Sebelum berangkat ke tanah suci, Muhammad Jamil
dipersuntingkan dengan gadis Tambangan yang bernama Saidah, yang kelak
mengaruniai dua orang puteri bernama Samsiyyah dan Syafiah. Sebelum
berangkat ke tanah suci pula, paman Muhammad Jamil, Datuk bagindo Malano
memberikannya gelar pusaka “Pakiah Bagindo Malano” sebuah gelar
kehormatan.
Di Mekkah, Muhammad Jamil berguru kepada Syeikh Ahmad
Khatib Minangkabau, seorang putra Minang yang menjadi imam, khatib,
sekaligus mufti madzhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Di Mekkah, beliau
bertemu dan belajar bersama Syeikh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya
Hamka). Keduanya menjadi murid kesayangan Syeikh Khatib, dan diberi
kehormatan untuk membimbing dan mengajar murid-murid yang lain. Muhammad
Jamil belajar di Mekkah selama 10 tahun lamanya. Selama itu juga ia
telah memperoleh tiga ijazah ilmiyyah dari tiga orang ulama besar di
Mekkah pada zaman itu, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (guru besar
madzhab syafi’i), Syeikh Alwi al-Maliki (guru besar madzhab Maliki),
dan Syeikh Mukhtar al-Affani (guru besar madzhab Hanbali). Sekembalinya
dari tanah suci, Syeikh Jamil menjadi ulama terkenal dan disegani karena
kedalaman ilmunya dan kesolehan pribadinya.
Pada tahun 1922,
bersama-sama syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan Syeikh Abdul Karim, beliau
mendirikan Persatuan Ulama Minangkabau (Ittihadul Ulama) dan perguruan
Islam Thawalib serta menghormati rekan-rekannya yang berada dalam
Tarbiyah, Muhammadiyah, Al-Jam’iyatul Washliyah, Nahdhatul Ulama, sampai
menangani berbagai persoalan secara bersama di dalam Majelis Islam
Tinggi (MIT) yang diketuai buya Candung. Setelah kegiatan beliau di
Persatuan Ulama, maka tahun 1926 beliau mengembangkan Persatuan Umat
Islam (PUI) serta Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan dan
beliau sendiri menjadi ketua umum Cabang Muhammadiyah Kota Padang
Panjang, namun keluar dari Muhammadiyah setelah pulang dari Kongres di
Pekalongan Jawa Tengah pada tahun 1927.
Di kampung halamannya pula,
Syeikh Muhammad Jamil membuka halaqah pengajian yang banyak didatangi
oleh para pengais ilmu. Halaqah ini kelak menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (MTI) Jaho. Perkembangan pesantren (Madrasah Tarbiyah
Islamiyah) yang didirikan para ulama tersebut berkembang pesat, ribuan
santri dari pelosok nusantara bahkan dari luar negeri datang menuntut
ilmu ke ranah minang. Pada tanggal 5 Mei 1928 Syekh Muhammad Jamil
beserta Syekh Sulaiman Arrasuli dan ulama-ulama Syafi’iyyah lainnya
sepakat mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (disingkat PTI pada
tahun 1930 disingkat PERTI)) di Candung. Organisasi ini sebagai wadah
perhimpunan MTI-MTI yang ada serta jamaah Ahlussunnah Wal Jamaah Mazhab
Syafi’i. sampai sekarang organisasi tersebut masih eksis di
tengah-tengah ummat dalam pendidikan, dakwah dan sosial.
Sejak adanya
PTI maka pesantren-pesantren yang dulunya berbentuk halaqah (mangaji
duduak) dirubah menjadi sistem madrasah (Sekolah) yang memakai bangku,
papan tulis dan sebagainya. Di MTI Jaho sendiri beliau terus
mengembangpesatkan madrasahnya sehingga terkenal di berbagai pelosok
negeri. Dengan pengkaderan yang begitu konsisten maka lahirlah
ulama-ulama muda yang menjadi panuta karena dalamnya ilmu agama dan
pandai menyampaikannya sesuai kultur masyarakat kita. Sebagian besar
alumninya mendirikan pesantren di kampong halamannya masing-masing,
seperti mendirikan MTI Tanjung Barulak, MTI Malalo, MTI Sumani, MTI Koto
Hilalang, Pondok Pesantren Daarut Tauhid Selayo, Darul Ulum Air Pacah
dan lain sebagainya. Banyak pula alumninya yang tidak mendidikan
pesantren, namun berkiprah pada TNI, Polri, Politisi, Dosen, Pengusaha
dan lainnya hingga sekarang.
Syeikh Inyiak Muhammad Jamil Jaho
wafat pada tanggal 2 November 1945. Beliau banyak meninggalkan kaya
berharga yang menjadi suluh ummat di kemudian hari, di antara karya
tulis beliau yaitu Tadzkiratul Qulub fil Muraqabah ‘Allamul Ghuyub,
Nujumul Hidayah, as-Syamsul Lami’ah, fil ‘Aqidah wad Diyanah, Hujjatul
Balighah, al-Maqalah ar-Radhiyah, Kasyful Awsiyah, dan lain-lain. Beliau
adalah ulama yang kharismatik, selalu bersikap luwes dan terbuka,
sangat cermat dan hati-hati dalam memandang sikap serta pendapat orang
lain yang berbeda dengan beliau. Dihormati oleh kaum muda dan disegani
kaum tua. Ini patut dicontoh oleh ulama-ulama saat ini. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar