Oleh : Muhammad Kosim
Penggiat Pendidikan Karakter Sumbar
Terbit di Padang Ekspres • Senin, 29/04/2013
Ujian Nasional
(UN) yang banyak disoroti tahun ini lebih kepada persoalan
terlambatnya kedatangan soal sehingga diundurnya beberapa sekolah dalam
melaksanaan ujian tahunan tersebut. Berita yang menghebohkan itu seakan
menutupi terjadinya praktik kecurangan yang biasa terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya.
Mungkin sebagian orang menyangka praktik
kecurangan itu di tahun ini sudah dapat dihilangkan karena paket soal
yang berbeda setiap siswa pada lokal yang sama. Namun kenyataannya,
silakan tanya anak, kemanakan atau anak-anak dari keluarga dekat kita
yang menjadi peserta ujian nasional di tahun ini. Tidak jarang di antara
mereka, dengan lugunya, menjawab mereka mendapat kunci jawaban sehingga
dengan mudah menyelesaikan soal yang diberikan.
Beragam modus yang dilakukan, mulai dari
jual-beli kunci jawaban yang tak jelas sumbernya, atau memang diperoleh
dari orang yang sangat mereka percayai sendiri. Ada yang mencontek
catatan kunci jawaban dalam kelas, ada pula yang silih berganti ke
toilet siswa untuk mencocokkan kunci jawaban sesuai dengan paket soal
yang diperoleh. Parahnya, ada pula “oknum guru” yang merevisi kunci
jawaban siswanya sehingga siswa bersangkutan tetap yakin bahwa nilai
yang ia peroleh semata-mata hasil jerih payahnya.
Modus di atas sudah sering terdengar dari
tahun ke tahun. Tampaknya, di tahun ini, praktik kecurangan itu masih
berlangsung di beberapa sekolah berdasarkan informasi beberapa siswa
yang menjadi peserta UN. Anehnya, para penentu kebijakan di negeri ini
hanya diam bergeming: tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau memang
tidak mau tahu?
Ironisnya, tiga tahun terakhir pemerintah
telah mengkampanyekan pentingnya pengembangan pendidikan karakter di
sekolah. Sejumlah kegiatan sosialisasi/pelatihan/training/workshop pendidikan karakter pun sudah dan tampaknya terus akan digelar.
Munculnya program pendidikan karakter tidak
terlepas dari kesadaran pemerintah, tokoh dan praktisi pendidikan
terhadap kasus penyimpangan moral yang kerap terjadi baik di kalangan
pelajar, maupun orang-orang yang dipandang terdidik. Karena itu,
pendidikan karakter dirumuskan dan dikembangkan dengan melakukan
internalisasi nilai-nilai karakter di sekolah, termasuk nilai kejujuran.
Sayang, kebijakan UN yang menjadi salah
satu syarat kelulusan siswa sering kali bertolak belakang dengan
semangat pendidikan karakter. Meskipun UN tidak lagi satu-satunya
penentu kelulusan, tetapi sadar atau tidak, siswa dan sekolah tetap
menganggapnya sebagai program yang menakutkan sehingga memotivasi
pihak-pihak tertentu melakukan praktik kecurangan.
Kondisi itu semakin diperparah dengan upaya
pemerintah menjaga kerahasiaan UN. Naskah soal UN dikawal dan diamankan
secara ketat dan pihak keamanan pun masuk dalam lingkungan sekolah.
Seakan-akan naskah soal UN seperti bom teroris yang siap kapan saja
meledak.
Kita memang tidak menyalahkan keterlibatan
pihak keamanan dalam suksesi UN ini. Sebab, dengan keamanan super ketat
itu, masih saja ada oknum yang berupaya untuk membocorkannya. Yang
pasti, kepercayaan dan kejujuran di negeri ini memang sangat mahal
harganya.
Anehnya, sudah tahu praktik kecurangan itu
kerap terjadi, kenapa pemerintah seolah menutup mata dan telinga? Lalu
pemerintah pun mengimbau, “jangan terkecoh bocoran UN yang beredar”,
bagaimana kalau peredaran itu dikondisikan oleh oknum guru?
Kemudian, pemerintah juga berkata, jika
masyarakat mengetahui ada praktik kecurangan seperti itu, silakan
laporkan. Persoalannya, siapa yang mau melaporkan? Jika dilaporkan,
apakah pelaku mau menjadi saksi? Bagaimana pula mengumpulkan alat
buktinya?
Jika memang praktik kecurangan itu
benar-benar terjadi, apalagi diorganisir secara sengaja oleh oknum
guru, sebusuk itukah hati mereka menenamkan benih-benih ketidakjujuran
bagi peserta didik? Tanpa harus membela perilaku menyimpang itu, yang
jelas perbuatan itu pasti bertentangan dengan hati nurani mereka.
Mereka berani mengorbankan harga dirinya di
hadapan murid-muridnya sendiri, pasti terasa menyakitkan.Pernahkah
pemerintah selaku pengambil kebijakan merasakan penderitaan mereka?
Sadarkah pula pemerintah pusat
tekanan-tekanan yang kerap terjadi di sekolah. Kepala sekolah merasa
tertekan jika siswanya banyak tidak lulus, bisa jadi tekanan itu datang
dari atasan dengan target yang harus dicapai, atau dari masyarakat
sendiri.Masih ingatkah kasus tahun lalu, siswa SD bernama Alief, di
Surabaya yang menolak praktik kecurangan, justru dimusuhi bahkan
“diusir” oleh masyarakat setempat dari tempat tinggalnya.
Lain lagi dengan reward yang
diberikan oleh pemerintah kepada sekolah yang meraih nilai UN tertinggi,
memotivasi sebagian di antara mereka untuk mencapai nilai sempurna,
meskipun dengan menghalalkan banyak cara. Bupati/wali kota dengan
bangga menargetkan kelulusan 100% di daerahnya, namun ia tak sadar
tekanan yang amat berat bagi kepala sekolah-kepala sekolah.
Tekanan-tekanan itu tentu dirasakan pula oleh guru sehingga isu
kecurangan dalam UN sering terdengar memang diorganisir oleh oknum
guru-guru tertentu, melalui sms, kerpean, dan sebagainya.
Karena itu, praktik UN yang demikian telah
berlawanan dengan usaha pendidikan karakter. UN yang dibarengi dengan
praktik kecurangan telah meruntuhkan struktur nilai-nilai karakter yang
telah dibangun bertahun-tahun sebelumnya.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Hemat penulis, penyelenggaraan UN mesti
dikaji ulang; lanjutkan atau hentikan.Jika pemerintah tetap ngotot untuk
meneruskan, maka ada dua pilihan mendasar. Pertama, jangan
jadikan UN sebagai salah satu syarat penentu kelulusan. Cukuplah UN
sebagai alat ukur untuk menentukan sejauh mana kemampuan siswa di negeri
ini dalam menguasai kompetensi yang telah ditetapkan dalam standar
isi. Masalah kelulusan, serahkan saja sepenuhnya kepada sekolah.
Dengan begitu, alasan pemerintah untuk
mengukur kemampuan peserta didik secara nasional bisa terjawab, meskipun
harus menghabiskan biaya yang sangat mahal.Hanya saja, perlu tindak
lanjut nyata dari setiap hasil evaluasi yang dilakukan. Namun, jika
pemerintah tetap menjadikan UN sebagai salah satu penentu kelulusan,
maka praktik kecurangan tampaknya akan terus menjadi isu, bahan
pergunjingan, dan kasus memilukan yang tak kan bisa dibuktikan.
Kedua, jika pemerintah tetap
menginginkan hasil UN menjadi salah satu penentu kelulusan, maka
pemerintah mesti menjamin proses pembelajaran sesuai dengan standar.
Bagaimana mungkin masyarakat siap dan ikhlas menerima evaluasi
distandarkan, tetapi proses tidak!
Sesungguhnya, inilah yang selalu menjadi
keluhan, dianggap tidak adil, bahkan menjadi alasan orang-orang tertentu
yang siap menjadi “martir” melakukan kecurangan UN tersebut sehingga
dosa itu dianggap sebagai “kecurangan bil-ma’lum”, atau
kecurangan yang harus dimaklumi. Proses penyelenggaraan pendidikan di
sekolah tidak standar, tiba-tiba evaluasi dipaksa untuk memenuhi
standar.
Padahal ada delapan aspek yang harus
memenuhi standar, yaitu standar isi, kompetensi lulusan, pendidik dan
tenaga kependidikan, proses, pengelolaan, evaluasi, sarana prasarana,
dan pembiayaan.
Cobalah lihat dengan teliti, berapa
sekolah sebenarnya yang telah memenuhi standar pelayanan minimal pada
delapan aspek tersebut. Misalnya, standar yang telah disepakati adalah
guru harus berpendidikan minimal S1, mata pelajaran yang diajarkan
sesuai dengan kualifikasi akademiknya, setiap kelas hanya beranggotan 32
orang siswa, penentuan KKM apa adanya, pembelajaran dilakukan secara
terencana, pembelajaran diterapkan dengan kegiatan eksplorasi,
elaborasi dan konfirmasi, dan masih banyak indiktor lainnya yang harus
distandarkan.Tegasnya, masih banyak sekolah kita yang belum mampu
memenuhi standar tersebut.
Selain itu, sejak dua tahun lalu sudah ada software yang
mampu menganalisa apakah jawaban ujian siswa merupakan hasil mencontek
atau dari bocoran kunci jawaban. Kecurangan peserta ujian akan segera
bisa dideteksi. Namun belum terdengar ada pemerintah daerah
kabupaten/kota yang memberi sanksi kepada sekolah yang terdeteksi
melakukan kecurangan tersebut. Sebaliknya, pemerintah harus memberireward kepada sekolah yang tidak terdeteksi melakukan kecurangan, merkipun hasil UN dan tingkat kelulusan rendah.
Kemudian pemerintah daerah patut memberi reward kepada
setiap sekolah yang siswanya banyak diterima di perguruan tinggi
pavorit. Sejak dua tahun lalu pemerintah Sumbar telah melakukannya,
tetapi perlu dilanjutkan, ditingkatkan dan disosialisasikan kepada
masyarakat luas.
Jika upaya-upaya seperti ini tidak
dilakukan, maka program pendidikan karakter hanya isapan jempol,
menghabiskan anggaran, dan kegiatan serimonial yang
dipergunjingkan.Ujian Nasional pun dianggap hanya dari sisi proyek
ratusan miliyar dari pada signifikansina dalam sebuah proses pendidikan.
Lebih dari itu, kita juga berharap kepada
media masa, peneliti, LSM pendidikan, perguruan tinggi dan pihak
kompeten lainnya turut membantu peningkatan kualitas pendidikan di
negeri ini. Lakukan investigasi terhadap praktik kecurangan. Teliti
kondisi sekolah yang ada, memenuhi standar atau tidak!
Pemerintah dan masyarakat harus
berkolaborasi memikirkan dan berbuat untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Pemerintah harus terbuka menerima masukan yang
konstruktif, masyarakat pun didorong untuk berpartisipasi aktif.
Optimisme harus tetap dibangun sebagai modal untuk menapak jalan menuju puncak peradaban melalui pendidikan yang berkarakter. Insya Allah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar