Kamis, 11 April 2013

Fiqih Politik Ulama dalam Pemilihan



Oleh : Duski Samad

Ketua DPD PERTI Sumbar

Padang Ekspres • Senin, 01/04/2013

Jelang pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif dan pemilihan presiden ke depan, akan selalu hadir di pang­gung-panggung masyarakat, mimbar khutbah dan cera­mah agama, di ruang publik, baik langsung maupun lewat media massa, tokoh-tokoh penggerak masyarakat, ter­masuk ulama untuk mem­bentuk opini agar  masyarakat memilih pemimpin mereka.

Pemilihan langsung yang dibawa demokrasi ini telah ikut serta menyita energi tokoh agama—mubalig, kha­tib dan ulama—baik karena memang mereka yang ingin merebut satu posisi kepemimpinan ataupun mereka yang dijadikan alat penyampaian informasi, pembentuk citra dan persepsi oleh tokoh tertentu untuk memenuhi keinginan mereka menjadi pemimpin formal di level tertentu.   

Memang, salah satu fitrah manusia adalah makhluk ingin berkuasa. Kekuasaan adalah satu di antara impian dan keinginan yang diperjuangkan setiap orang. Posisi dan daya tawar sosial akan menjadi ukuran level kepemimpinan mana yang akan direbutnya. Dalam pandangan Islam, berkuasa bukanlah semata-mata upaya yang dapat direbut setiap orang untuk mengangkat martabat dan harga dirinya. Tapi, ia juga menjadi virus yang merontokkan kemuliaannya bila tidak dapat dipergunakan dengan baik.

Bahkan, kekuasaan itu juga menjadi sumber kemuliaan dan bencana bagi orang-orang yang memperolehnya…Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS, Ali Imran, 3:26).  

Fiqh Politik Ulama

Dalam sejarah Islam dicatat bahwa perdebatan tentang perebutan kekuasaan sudah muncul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ketika ada dua kubu umat dalam menetapkan siapa yang akan menggantikan Nabi? Apakah kepemimpinan Islam dipegang keluarga Nabi, sahabat utama yang berjuang bersama nabi sejak dari Mekkah (Muhajirin) atau orang-orang pilihan yang memberikan bantuan pada kaum muhajirin yaitu orang-orang Madinah, dikenal dengan sebutan Anshar. Namun kemudian, perpecahan itu mampu diredakan dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah, lewat satu kesepakatan bersama yang dikenal dengan sebutan Baiah Tsaqifaf Bani Saidah.

Selanjutnya berjalanlah masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam suasana dan semangat persatuan yang erat. Namun pada masa pemerintahan khalifah Usman terjadilah gonjang ganjing politik yang mengguncangkan tampuk kekuasaan yang ditimbulkan oleh tindakan Usman sendiri yang tidak populer dan kurang disetujui oleh rakyat yang dipimpinnya. Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang yang haus kekuasaan untuk menggulingkan pemerintahan Usman. Pada babak selanjutnya muncul berbagai gejolak politik, perebutan kekuasaan dan memicu muncul pemikiran keagamaan dalam bidang akidah, fiqih dan tasawuf Islam.

Akar perbedaan dalam masalah bagaimana menjalankan roda kepemimpinan, siapa yang berhak menjadi pemimpin dan dengan cara bagaimana pemimpin dipilih atau diangkat ini adalah bagian penting dalam kajian fiqih Islam. Bagian (bab) tentang kekuasaan yang disebut fiqh siyasah (fiqih politik) adalah landasan hukum dalam menetapkan landasan moral dan hukum tentang kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam. Prinsip dasar yang menjadi tugas utama dalam kekuasaan Islam adalah melaksanakan tujuan pokok syariat Islam, ya’muruna bil ma’ruf tanhauna ‘anil munkar, tegaknya kebaikan berikut segala unsur yang menunjangnya dan habis atau hilang segala jenis kemunkaran dan ketidakbaikan, sesuai pesan suci ilahi (QS. Ali Imran, 3:104).

Prinsip dasar dari fiqih Islam yang tentunya juga harus menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi aktualisasi fiqih politik ulama adalah amar ma’ruf nahi munkar dan akhlakul karimah. Prinsip dan etika ulama dalam berpolitik tidak boleh sembarangan atau keluar dari jalur prokebaikan, tegas terhadap kemungkaran dan santun atau berakhlak mulia dalam menyikapi intrik, konflik dan interest dalam setiap sesi kehidupan berpolitik. Ulama sebagai contoh model dalam menerapkan politik Islam tentu tidak boleh terjebak pada budaya hedonis politik, politik kotor, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, menjadikan kekuasaan sebagai tujuan sehingga mengabaikan nilai, etika dan moral kehidupan luhur.

Fiqih politik agama yang akan dimainkan oleh ulama harus tunduk pada tuntunan ilahi dalam rangka tugas memberikan bimbingan kepada umat agar jangan salah dalam memainkan kartu politik. Ulama harus mampu mengkonsolidasikan dan membimbing umat agar dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara tepat, benar dan tidak melanggar doktrin suci Allah SWT, ….Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali [Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu). (QS Ali Imran, 3:28)

Penegasan bahwa ulama harus tahu dan mengerti politik adalah pesan penting yang dimaksudkan oleh fiqih politik ulama. Ulama harus mampu mencontohkan kepada umat bahwa politik itu harus dapat dijalankan sesuai petunjuk Allah, politik harusnya dikontribusikan untuk kepentingan lebih luas. Bahkan, ada yang mengatakan politik akan menjadi ibadah bila niat, cara dan tujuannya untuk kemaslahatan umat. Tetapi sebaliknya, politik akan mendatangkan bencana bila fiqih politiknya didasarkan pada keserakahan untuk berkuasa dengang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai legetimasi politik belaka.

Ulama dituntut untuk tidak mau diintervensi oleh politikus busuk, khususnya dalam mengajak umat memilih mereka yang nyata-nyata sudah cacat dan bejat moralnya. Ulama harus mampu berpikir dan bertindak proporsional, elegan, arif dan menempatkan kepentingan umat dan agama di atas kepentingan orang, kelompok atau ideologi tertentu. Nilai dan ideologi Islam adalah kompas yang tak boleh lepas dalam menjalan politik Islam. 

Peran dan Posisi Ulama

Keberadaan ulama begitu penting dan strategis dapat diamati dari peran yang ditunjukkan ulama. Meskipun, sekarang sudah terbatas namun penting dan menentukan corak kehidupan masyarakat. Wadah pengabdian ulama yang tersisa, dalam hal ini adalah khutbah Jumat, ceramah agama, pembaca doa dan pemberi nasihat dalam iven pernikahan atau kegiatan keagamaan lainnya, tetap masih penting dalam menggerakkan perubahan serta mengawal moral umat, termasuk dalam politik.

Untuk memberikan penguatan dan pengokohan terhadap mimbar khutbah, ceramah dan tausiyah sebagai panggung mulia yang dimiliki ulama, maka perlu dilakukan upaya yang  berkelanjutan yang dapat menegaskan fungsi-fungsi ulama tersebut. Fungsi mulia ulama sebagai pewaris perjuangan Nabi harusnya dapat menjadikan ulama bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang menggugat, melecehkan ataupun menolak keberadaan nabi, kesucian agama Islam dan perilaku tidak terpuji yang dilakukan orang per orang lalu digeneralisir sebagai ajaran agama. Dalam berpolitik, sikap ulama harus jelas menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu ya salah. Ulama tidak boleh abu-abu atau mendua.

Nasihat ulama di atas mimbar dan tempat pengajian harus difokuskan pada usaha membentengi akidah umat dari perusakan dan kerusakan. Perusakan dan kerusakan akidah adalah bahaya yang sedang dan terus akan mengintai umat. Begitu juga harus mampu memperlihatkan akhlak mulia dan berpolitik santun dalam menyikapi ekses yang ditimbulkan atau sengaja direkayasa untuk merusak citra diri ulama. 

Relasi sosial antarumat Islam dan umat lain, ulama juga dituntut mengokohkan pendiriannya sebagai  perekat ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan basyariyah. Ukhuwah adalah program awal yang diluncurkan Nabi Muhammad SAW, ketika baru saja menginjakkan kakinya dibumi Yastrib (Madinah). Mengubah sistem sosial dari hubungan sosial kemasyarakatan yang  didasarkan benda (uang, dagang, jabatan dan status sosial) digantinya dengan hubungan didasarkan satu paham keagamaan (Islam).  “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS.49:10).

Sisi lain yang harus diperkuat pada mimbar atau panggung umat yang dikuasai ulama adalah kedudukan ulama sebagai penganjur dan penegak amar ma’ruf nahyi mungkar. Ulama bukan saja pioner dari kebaikan, akan tetapi ia juga tidak boleh berkompromi dengan kemungkaran. Tegas, istiqamah dan ikhlas dalam memperjuangkan amar ma’ruf nahi munkar adalah sikap moral yang tidak boleh menipis di kalangan ulama. 

Motivasi dan  misi yang hendaknya ditanamkan ke dalam diri kaum ulama adalah, kehadiran ulama bukanlah untuk dirinya sendiri, ia juga bertugas melayani kepentingan umat. Ulama adalah khadimul ummah. Nasihat ulama kepada pemimpin, umat dan siapa saja adalah bentuk pelayanan ulama yang harus dimengerti semua pihak. Bila ada pendapat, tausiyah, pengajian dan tulisan ulama yang menyatakan kebenaran mestinya dihargai. Karena, nasihat ulama jelas didasarkan pada nilai-nilai dasar agama Allah yang pasti benarnya. Kalau demikian, tidak ada alasan meremehkan atau tidak mempedulikan nasihat ulama.

Peran dan posisi ulama yang demikian luas dan mulia itu hanya dapat dijaga oleh ulama dan umat yang cinta kebaikan. Oleh karenanya, kegiatan pemilihan kepemimpinan yang hanya sesaat ini dituntut jangan sampai mencederai martabat dan keluhuran ulama. Semoga juga kaum ulama dalam segala tingkatan agar mawas diri dan waspada ekstra hati-hati untuk tidak terjebak pada sikap dan kegiatan yang akan merugi umat dan Islam. Selamat berjuang untuk kebaikan. Fastabiqul khairat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar