Rabu, 10 April 2013

Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871 – 1970 M): Sang Pendiri PERTI

Oleh: Muhammad Kosim, MA



Namanya adalah Muhammad Sulaiman bin Muhammad Rasul. Murid-muridnya menyebut: Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli, atau “Inyiak Canduang”. Ia lahir pada petang Ahad malam Senin tanggal 10 Desember 1871 M bertepatan bulan Muharram 1297 H di Surau Pakan Kamis, Nagari Canduang Koto Laweh, Kabupaten Agam, propinsi Sumatera Barat. 
Ayahnya bernama Angku Mudo Muhammad Rasul, seorang ulama yang disegani di kampungnya dan mengajar di Surau Tangah Canduang. Ibunya bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang perempuan yang taat beragama. Kakeknya (ayah dari ayahnya) juga seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya, yaitu Tuanku Nan Pahit. Jadi, Sulaiman ar-Rasuli lahir dari keluarga yang taat beragama dan pendidik di tengah-tengah masyarakatnya.
Di antara gurnya adalah: Syekh Muhammad Arsyad bin Syekh Abdurrahman al-Khalidi (1899–1924 M) di Batu Hampar Kabupaten 50 Kota, Syekh Abdussamad Tuanku Samiak Ilmiyah, di Biaro IV Angkat Agam, Tuanku Kadi Salo (guru tuo beliau yang kelak menjadi pengunjung—jamaah—majlis taklim yang dibinanya, namun ia tidak memperlakukannya sebagai murid melainkan tetap dihormatinya sebagi guru), Syekh Mohammad Ali Tuanku Kolok di Tanjung Sungayang Kabupaten Tanah Datar, dan Syekh Abdullah Halaban.

Pada tahun 1903, beliau menunaikan ibadah Haji dan menuntut ilmu ke beberapa ulama terkemuka, di antaranya: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mukhtar ‘Atharad as-Shufi, Syekh Usman al-Sirwaqi, Syekh Muhammad Sa’id Mufty al-Syafe’i, Syekh Nawawi Banten, Syekh Ali Kutan al-Kelantani, Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Said Ahmad Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan Said Babasil Yaman.
Di Mekah, ia seangkatan dengan beberapa ulama dari tanah air, seperti: Syekh Abdul Karim Amrullah (Ayah Hamka), Syekh Muhammad Djamil Jambek, Syekh Muhammad Djamil Jaho, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang, Syekh Abbas Ladang Lawas, Syekh Zain Simabur, Kiyai Hasyim Asy’ari Jombang, K.H. Ahmad Dahlan, dan Syekh Hasan Maksum Sumatera Utara. Di kota suci ini, ia belajar selama 3,5 tahun (1903 hingga 1907 M).
Syekh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama yang konsisten mempertahankan i’tiqad ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan bermazahab Syafi’i dalam persoalan fiqh. Beliau juga membela thariqat Naqsyabandiyah dari serangan kaum Muda. Pada tahun 1342 H, beliau tampil dalam mudzakarah dengan Syekh Muhammad Thahir al-Azhari di depan ribuan jamaah di Majid Jami’ Pasir Ampek Angkek dengan memperbincangkan tentang Rabithah, sebagai salah satu ajaran dalam thareqat Naqsyabandiyah. Banyak di antara jamaah yang mengira bahwa beliau akan berubah pendapatnya dan mengikuti pendapat Syekh Muhammad Thahir al-Azhari bersama beberapa temannya yang secara bergantian mengemukakan pendapat untuk membantah pendapat Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Namuan beliau yang sendirian tetap mampu menjawabnya dengan baik sehingga akhir dari mudzakarah tersebut tidak dapat membatalkan konsep rabithah dalam thareqat Naqsyabandiyah. Dalam konteks ini, Muhammad Rusli Kapau (2003: 57) mengemukakan, para guru Naqsyabandiyah patut menghargai jasa beliau dalam mempertahankan konsep tersebut.
Kedalaman ilmu Syekh Sulaiman ar-Rasuli menjadikannya sebagai ulama kharismatik yang dikenal dan disegani kala itu. Beliau berperan sebagai da’i/muballigh, pendidik, organisatoris/politisi, bahkan berperan sebagai ahli adat Minangkabau.
Sebagai seorang dai, kehadiran Syekh Sulaiman ar-Rasuli banyak dinanti jamaahnya. Bahkan ia bersedia memenuhi permintaan dari Tuanku Laras Anam Koto penghulu kepala Pandai Sikat Kota Padang Panjang dan penghulu-penghulu imam khatib dalam nagari tersebut agar beliau ke sana untuk mendidik umat yang nyaris terjerumus kepada kemusyrikan. Ketika itu, berkembang pelajaran menguatkan badan atau tidak mempan dengan senjata tajam, yang mereka sebut dengan thariqat keras (bercampur syirik). Mereka menuntut ilmu itu untuk siap melawan pemerintah yang ingin melakukan balesting. Selama setahun ia menetap di sana sehingga akhirnya secara berangsur pelajaran menguatkan badan tersebut ditinggalkan oleh masyarakat setempat dan pengajian diteruskan oleh murid-muridnya (Yusran Ilyas, 1955: 6).
Setelah itu, Tuanku Dt. Majolelo Damang Darwis—wakil Laras di Baso saat itu—juga meminta beliau kembali pulang ke kampungnya karena tingkat kejahatan di Baso semakin tinggi, seperti maling, menyabung ayam, judi, hingga kepada perampokan sering terjadi, bahkan pasar Baso bagaikan pusat kejahatan seiring dengan banyaknya kasus kejahatan yang terjadi di tempat keramaian tersebut. Ia pun aktif membina jamaah melalui pengajian/pengajaran Islam yang dilakukan setiap Kamis sehingga pada tahun 1938, pasar Baso jauh lebih aman dan ketaatan mereka terhadap agama semakin tinggi.
Sebagai Pendidik, ia telah aktif mengajar murid-muridnya secara mandiri di Surau Baru Canduang sekembalinya dari Mekah. Sebelumnya, ketika belajar di Halaban, ia telah dipercaya sebagai “guru tuo” dan disenangi oleh murid-murid lain karena kemampuannya dalam menguasai ilmu dan mengajarkannya.
Sikapnya yang demokratis dan terbuka terhadap ide perubahan positif, akhirnya bersedia menerima saran dari Syekh Abbas Ladang Lawas untuk melakukan perubahan pola belajar dari sistem halaqah menjadi klasikal sehingga sejak tahun 1926, surau tersebut berganti menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang. Dua tahun berikutnya, perubahan itu diikuti oleh ulama-ulama Minangkabau yang sepaham dengannya, terutama Syekh Muhammad Djamil Jaho mendirikan MTI Jaho dan Syekh Abdul Wahid al-Shalih mendirikan MTI Tabek Gadang.
Sebagai politisi dan organisatoris yang mempuni, beliau aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada masa penjajahan Belanda, beliau menerima beberapa amanah penting. Pada tahun 1917 M, Inyiak Canduang dipercaya sebagai Qadhi di nagari Canduang dalam Sidang Sabuah Balai. Tahun 1918 M, beliau terpilih menjadi Ketua Umum Syarikat Islam (SI) untuk daerah Canduang – Baso. Tahun 1920 M, bersama-sama dengan Syekh H. Abbas al-Qadhi Ladang Lawas dan Syekh H. Muhammad Djamil Jaho serta ulama yang sepaham dengannya ia mendirikan organisasi “Vereeniging Ittihadul Oelama Sumatera” (VIOS) sebagai wadah berkumpulnya para ulama Sunniyah-Syafi’iyyah dalam mengkaji dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang diketuai oleh Syekh Muhammad Saad Mungka.
Beliau juga disebut sebagai pendiri utama sekaligus pemimpin pertama Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) yang terbentuk pada tanggal 5 Mei 1928 M/15 Zulkaedah 1346 H. Organisasi ini merupakan wadah untuk mempersatukan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang sudah terbentuk 2 tahun sebelumnya di Canduang. Pada tanggal 28 Mei 1930, ia menggagas musyawarah besar di MTI Canduang lalu terbentuklah organisasi yang bernama “Persatuan Tarbiyah Islamiyah”, disingkat PTI sebagai pengganti PMTI yang bertugas untuk mengelola semua madrasah yang berada di bawah naungannya. Salah satu keputusannya adalah ditetapkan 10 orang ulama pendiri, nama yang pertama adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan beliau pun dipercaya sebagai “Direktur Pendidikan”. Sejak itu, jumlah madrasah di bawah PTI tumbuh dan berkembang cukup pesat, menyebar ke seluruh Sumatera, mulai dari Aceh hingga ke Lampung, bahkan sampai ke Sintang (Kalimantan Barat). Pada tahun 1942 tercatat sekitar 300 sekolah PERTI dengan murid sekitar 45.000 orang (Hasril Chaniago, 2010: 474).
Pada tahun 1932 M ia menolak ordonansi sekolah liar yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan tahun 1937, ia turut menolak ordonansi kawin bercatat (catatan sipil) yang ingin diberlakukan oleh pemerintah Belanda. Selain itu, tahun 1939, ia bersama pimpinan organisasi membentuk kepanduan al-Anshar. Tahun 1942, beliau turut menentang Politik Bumi Hangus Kolonial.
Pada masa penjajahan Jepang, tahun 1943, Syekh Sulaiman ar-Rasuli terpilih menjadi ketua umum Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MITM). Kiprah organisasi ini hingga ke negara tetangga. Beliau bersama beberapa pengurus lainnya menghadiri Rapat Besar Ulama Islam Sumatera – Malaya di Singapura. Melalui MITM pula, ia berjuang untuk memperkokoh kerukunan interen ulama dan umat Islam Sumatera Barat dari adanya pertentangan antara kaum tua dan kaum muda. Hasilnya, tokoh ulama dari kalangan “kaum Tua” dengan “kaum Muda” bersepakat bahwa: masalah-masalah khilafiyah bukan bid’ah; bertaqlid kepada umam mazhab dibiarkan, tidak boleh diganggu; dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari cela-mencela antara satu sama lain.
Pascakemerdekaan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengembangkan fungsinya menjadi partai politik dengan nama Partai Islam PERTI. Dalam hal ini Syekh Sulaiman ar-Rasuli ditetapkan sebagai Penasehat Tertinggi. Beliau juga disebut sebagai penggagas berdirinya Mahkamah Syariah di Sumatera Tengah. Gagasan itu ia sampaikan kepada Jawatan Agama Sumatera Tengah, H. Nasruddin Thaha. Lalu diperkuat oleh keputusan dari ulama-ulama Sumatera Barat yang diadakan melalui referendum. Maka tahun 1947 berdirilah Mahkamah Syariah di Sumatera Tengah secara resmi dan beliau diangkat menjadi Ketua oleh Menteri Agama RI pada tanggal 17 Juni 1947 dan berakhir pada tahun 1960 M.
Pada tahun 1948, beliau diangkat sebagai penasehat Gubernur Militer Sumatera Tengah. Tahun 1956, ia menghadiri Muktamar Ulama Seluruh Indonesia (MUSI) di Palembang Sumatera Selatan dan dipercaya sebagai ketua salah satu komisi yang bertujuan untuk menentang komunis yang telah mulai memperlihatkan kukunya dalam berbagai kehidupan bangsa.
Inyiak Canduang juga terpilih menjadi anggota Konstituante berdasarkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) pertama pada tahun 1955. Sidang pertama dibuka pada tanggal 10 Nopember 1956 di Kota Bandung. Sebagai anggota tertua, baik dari segi usia maupun ilmu dan pengalaman, beliau terpilih menjadi ketua sidang pertama konstituante tersebut. Dalam memimpin sidang, ia tetap mengenakan sarung dan sorban, pakaian yang biasa dipakainya.
Sebagai tokoh adat, beliau selalu diundang sebagai nara sumber dalam acara-acara resmi adat Minangkabau. Pada tahun 1927, Inyiak Canduang diundang untuk menjadi nara sumber tentang keterkaitan agama Islam dengan adat Minangkabau. Undangan tersebut berasal dari penguasa yang berada di daerah raja-raja Gunung Sahilan (Zelf Besturder van Kampar Kiri), Teluk Kuantan dan Pulau Gadang.
Pada tahun 1954 dilaksanakan Kongres Segi Tiga berdasarkan inisiatif beliau di Bukittingi yang dihadiri oleh ninik-mamak, alim-ulama dan cerik-pandai Minangkabau. Lagi-lagi dalam kongres ini beliau ditetapkan sebagai ketua umum dan M. B. Dt. Rajo Sampono dipercaya sebagai Sekretaris Umum. Hasil dari kongres tersebut adalah: “sepakat bahwa harta warisan atau pusaka tinggi tetap dibagi menurut adat sedangkan harta pencarian atau pusaka rendah dibagi menurut syariah (faraidh)”.
Syekh Sulaiman ar-Rasuli juga dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis, baik di bidang tafsir, tauhid, tasawuf fiqh, adat Minangkabau, dan pendidikan. Tidak kurang dari 17 karya yang dihasilkan, satu di antaranya menjadi kitab tauhid yang dipelajari di MTI Canduang dan beberapa MTI lainnya, yaitu al-Aqwālu al-Mardhīyyah  fi al-‘Aqaid al-Diniyyah.
Tepat pada hari Sabtu, tanggal 28 Rabi’ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, Syekh Sulaiman ar-Rasuli wafat dalam usia 99 tahun. Tidak kurang dari enam ribu pelayat yang mengantarkan jenazahnya ke pemakaman di halaman madrasah induk yang asli dari MTI Canduang. Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein, Panglima Kodam II/17 Agustus dan pejabat pemerintah lainnya, sipil dan militer, kaum muslimin dari berbagai penjuru, hadir pada pemakaman itu, karena radio telah menyiarkannya. Bahkan Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein, memerintahkan agar pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera setengah tiang selama delapan hari penuh, sebagai tanda belasungkawa yang dalam.
Di hari itu, sedang berlangsung pula seminar sejarah Islam di Minangkabau yang dihadiri oleh sejumlah cendikiawan, termasuk Buya Hamka. Mendengar wafatnya Syekh Sulaiman ar-Rasuli, beliau langsung menuju Canduang dan shalat jenazah di atas pusara saja.
Pada tahun 1975 Gubernur Sumatera Barat telah menanugerahkan untuknya sebuah piagam tanda penghargaan sebagai ”Ulama Pendidik” yang diserahkan kepada ahli warisnya seperti juga beliau pernah menerima penghargaan ”Bintang Perak” dari Pemerintah Belanda dan ”Bintang Sakura” dari Pemerintah Jepang. Bahkan ulama besar Minangkabau ini ditetapkan pemerintah sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan pada tahun 1969.
Demikianlah riwayat hidup Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang penuh dengan perjuangan dakwah dan tarbiyah. Hingga di usia senjanya, beliau tetap aktif berdakwah dan mendidik dalam pertemuan majlis taklim, atau bagi santri kelas VII di MTI Canduang. Bahkan setahun menjelang wafat, beliau meresmikan berdirinya Universitas Ahlussunnah (UNAS) di Bukittinggi dengan satu fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah sekaligus melantik rektornya H. Ma’ana Hastuti Dt. Tanpahlawan, MA pada tahun 1969 M. Suatu perjuangan yang terus dikenang dan dirindukan banyak orang.
Menjelang ia wafat, banyak pesan berharga yang ia sampaikan pada keluarga dan murid-muridnya. Satu di antaranya, dirumuskan dalam kalimat Teroeskan Membina Tarbijah Islamijah Ini Sesoeai dengan Peladjaran yang Koe Berikan, dan rumusan pesan itu kini terukir di atas pusaranya.

1 komentar:

  1. Kakek (datuk) saya KH Abdul MUthlib (alm) adalah murid langsung Syech Sulaiman Arrasuli, kakek saya lahir 1911 dan pernah menjadi jetua pelajar Madrasah Perrti se candung, dan pada tahun 2001 saya pernah berkunjung k Madrasah perti di surau ateh dan bertemu dgn Buya Sahrarudin Arrasuli (anak syech Sulaiman) dan saya pernah melihat buku alumni madrasah perti candung yaitu prof jamaan nur, Baharuddin Dj (alm, mantan ketua DPRD Prov Bengkulu) satu lagi saya lupa. nama nama kakek saya terlupakan utk di catat akhirnya di koreksi oleh Buya syahrudin
    SYAIPUDDIN ZUHRI Bengkulu 085380061118

    BalasHapus