Rabu, 10 April 2013

Tabayyun terhadap Berita




Oleh: Muhammad Kosim

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat/49: 6)

Akhir-akhir ini, kita disungguhkan berita tentang kasus korupsi yang mengehebohkan, baik dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Di tingkat nasional, kasus yang paling hangat adalah kasus Hambalang. Berbagai pihak merasa paling benar. Publik pun berspekulasi dan berprasangka. Ada yang mengecam KPK karena diintervensi kekuasaan, ada yang menilai Demokrat sebagai partai sadis, SBY pun dicaci dengan pernyataan-pernyataan kontroversi, ada pula yang mengutuk Anas agar segera digantung di monas.
M. Nazaruddin pun mulai diaggap “pahlawan”. Dulu ia dicaci dan dicap sebagai pembual, pembohong besar. Kini, pengacaranya menyebut “suara Nazar suara kebenaran”, dan di-amin-kan oleh sebagian orang.
Begitu pula di tingkat lokal, Sumatera Barat, kasus safari dakwah PKS. Ada yang mengecam Irwan Prayitno karena dianggap terlibat mempermaikan anggaran. Ada pula yang membela sang gubernur. Sementara Pak Irwan sendiri memilih untuk “sabar” dan menganggap tudingan kepadanya sebagai black campain, seperti yang ditulisnya di Teras Padek, Kamis (7/3) lalu.
Pendeknya, mereka yang berseberangan sama-sama mengaku benar. Namun tidak sedikit di antara masyarakat yang berpikir negatif, bahkan mengeluarkan sumpah-serapah kepada pihak yang dianggapnya salah. Ironisnya, mereka yang bertikai adalah pemimpin. Mereka juga bagian dari saudara seiman. Bukankah sesama mukmin saling menguatkan satu sama lain dan laksana satu tubuh?
Menyikapi berita yang selalu menjadi topik hangat itu, selaku umat yang beriman sejatinya tidak mudah terpancing menuding, apalagi menyumpahi mereka yang belum jelas salah-benarnya. Dalam hal ini, belajarlah pada firman Tuhan dalam surat al-Hujurat ayat 6 di atas.
Dalam ayat tersebut dengan tegas Allah menyeru orang-orang beriman agar melakukan tabayyun ketika menerima informasi atau berita, apalagi jika berita itu datang dari orang-orang fasik. Kata fatabayyanu berarti periksalah dengan teliti. Kata jadiannya (mashdar) adalah tabayyun. Akar katanya adalah ba’, ya’ dan nun, artinya berkisar pada jauhnya sesuatu dan terbuka, dari sini muncul arti jelas (lihat Tafsir Alquran Departemen Agama).
Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, jelas, dengan pelan-pelan/hati-hati, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Prinsip kehati-hatian ini ditegaskan Rasulullah SAW: “hati-hati itu dari Allah, sedangkan terburu-buru itu dari setan”.
Ayat ini juga mengajarkan agar kita teliti terhadap berita yang disampaikan oleh orang-orang fasik. Kata fasiq sendiri berasal dari kata fasaqa yang biasa melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Orang yang fasik atau durhaka adalah orang yang telah keluar dari koridor agama, akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil. Demikian tafsir Quraish Shihab dalam al-Mishbah.
Kefasikan dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Kefasikan yang menjadikan pelakunya tetap muslim akan tetapi mereka bermaksiat, (QS. al-Hujurat/49: 6) dan kefasikan yang menjadikan pelakunya kafir, keluar dari Islam (QS. as-Sajadah/32: 18).
Oleh karena itu, berhati-hatilah menerima berita, apalagi berita itu datang dari orang yang durhaka: mereka nyatakan dirinya beragama Islam, tetapi ia sendiri melakukan larangan Tuhan, termasuk korupsi. Bukan berarti apa yang dikatakan para koruptor itu mesti ditolak, tetapi Alquran mengisyaratkan agar kita tabayyun.
Sebaliknya, jika kita tidak hati-hati, mudah terpancing dengan isu yang belum pasti kebenarannya, berspekulasi tanpa ada bukti yang nyata, maka di akhir ayat itu Allah mengancam orang-orang tersebut akan menimbulkan musibah bagi yang disangkakan dan mereka pun akan memperoleh penyesalan.
Jika prasangka mereka tidak benar, sementara lisannya telah mencaci-maki, maka jatuhlah ia pada perbuatan fitnah. Padahal fitnah itu perbuatan yang sangat keji yang menimbulkan dosa besar (Qs. al-Baqarah/2: 191. 217), menimbulkan permusuhan dan mengundang kutukan Tuhan.
Firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar [berita] perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.(QS. an-Nur [24]:19).
Sikap yang benar yang harus dilakukan agar kita tidak terpancing oleh berita fitnah, maka perlu diperhatikan bahwa tidak semua berita harus kita dengar dan kita baca, khususnya berita yang membahas aib dan membahayakan pikiran. Tidak terburu-buru dalam menanggapi berita, akan tetapi diperlukan tabayyun dan pelan-pelan dalam menelusurinya.
Selain dari fitnah yang ditimbulkan, prasangka negatif akibat berita yang tidak diteliti kebenarannya juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemimpin. Padahal, Islam mengajarkan agar mentaati pemimpin selama pemimpin itu tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya (Qs. an-Nisa’/4: 59).
Karena itu pula, pemimpin juga dituntut untuk berlaku adil, tidak merekayasa dan mempolitisir kebenaran. Mereka harus mementingkan kepentingan rakyatnya dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Namun jika pemimpin itu sendiri yang telah fasiq, merekayasa kebenaran, maka pemimpin itu adalah pemimpin zhalim. Dalam konteks demokrasi yang berlangsung di Indonesia, sejatinya pemimpin yang lahir adalah pemimpin yang adil. Sebab ia dipilih oleh rakyat yang sejatinya juga bersih, cerdas, adil, sehingga memilih pemimpin bukan karena uang (money politic), bukan karena iklan, atau janji manis penuh rayuan. Atau jangan-jangan rakyat kita sendiri yang sudah kebanyakan berlaku zhalim sehingga melahirkan pemimpin yang zhalim pula? Na’udzu billah.
Pendeknya, dalam kasus korupsi seperti yang disinggung di atas, hendaklah kita menyerahkan kepada lembaga penegak hukum. Publik bisa mengawalnya, tanpa harus berprasangka negatif membabi buta terlebih dahulu, apalagi melontarkan kata-kata yang menghina dan menghukum seseorang benar-benar bersalah.
Selain itu, kita harus bertawakkal kepada Allah dengan senantiasa bermunajat kepada-Nya sebagaimana yang diajarkan Rasul-Nya:
Allahumma arinal haqqa haqq(an) warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila bathil(an) warzuqnaj tinabah, wala taj’alhu multabis(an) ‘alaina fanadhillu waj’alna lil muttaqina imama.
“Ya Allah perlihatkanlah kepada kami yang benar itu adalah benar, lalu bimbinglah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang salah ltu adalah salah, dan kemudian bimbinglah kami untuk menghindarinya. Janganlah dijadikan yang benar dan salah itu samar-samar bagi kami, yang akan menyebabkan kami sesat. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang takwa. (HR Bukhari dan Muslim); Amin...

1 komentar: