Senin, 15 April 2013

Pesantren, Antara Modernitas dan Identitas

Formalisasi dan Standarisasi Pesantren Salafi

Oleh: Muhammad Kosim

Terbit: Harian Haluan, 9 Maret 2013

Paling tidak ada tiga fungsi pokok pesantren, yaitu: se­ba­gai transmisi pe­nge­tahuan Islam (transmission of Islamic knowledge), peme­liharaan tradisi Islam (main­tenance of Islamic tradition), dan kaderisasi calon-calon ulama (reproduction of ula­ma).Namun terdapat sejumlah persoalan untuk menjalankan fungsi tersebut, di antaranya adalah dalam menghadapi tantangan modernisasi.
Dewasa ini, pola pesantren yang berkembang di tanah air ada dua bentuk, yaitu yaitu salaf dan khalaf. Pesantren Salafiyah lebih memperta­hankan identitas aslinya dengan menitikberatkan pada kajian kitab kuning atau kitab klasik.
Sedangkan pesantren kha­la­fiyah atau ‘Ashriyah’ adalah pondok pesantren yang menga­dopsi sistem madrasah atau sekolah, kurikulum disesuai­kan dengan kurikulum peme­rin­tah, dalam hal ini Depar­temen Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, melalui penyelenggaraan SD, SMP, dan SMU, atau MI, MTs, dan MA. Bahkan ada pula yang sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Kenyataanya, banyak di antara pesantren saat ini, termasuk di Sumbar, yang memilih model pesantren khalafiyah. Di antara alasan­nya adalah untuk meladeni tawaran modernitas yang kian maju dan berkembang ke depan. Pola ini dianggap menguntungkan alumninya karena bisa melanjutkan ke perguruan tinggi umum (PTU) atau agama (PTAI). Pilihan ini juga sering dianggap seba­gai respons atas kebutuhan zaman dan keinginan orang tua.

Namun realitanya peru­bahan dan perkembangan pesantren menjadi khalafiyah ini mengakibatkan tambah padatnya beban belajar, yang semula hanya mempejari kurikulum pesantren dituntut menguasai kurikulum pendi­dikan formal.Akibatnya kuri­kulum pesantren yang bersifat tafaqquh fi al-din makin tergerus dan santri lebih mengutamakan penguasaan kurikulum pendidikan formal­nya. Identitas pesantren pun dalam ancaman.
Mereka harus menguasai seluruh mata pelajaran ma­dra­sah sesuai SKB 3 Menteri 1975 yang merupakan aku­mulasi dari mata pelajaran umum di SMP/SMA dengan mata pelajaran PAI (Alquran Hadis, Akidah Akhlak, Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam) dan Bahasa Arab (pola 70% umum dan 30% agama).
Dengan begitu, santri di pesantren ini harus mengua­sai mata pelajaran sekolah umum, mata pelajaran ma­drasah, dan mata pelajaran pondok pesantren. Teori pendi­dikan mana di dunia ini yang menilai dan mengakui efek­tifitas pola pembelajaran seperti ini?
Kondisi inilah yang ba­nyak dikeluhkan oleh para buya atau ulama senior saat ini. Pola ini dianggap sebagai salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas pesantren dalam melahirkan ulama yang kompeten dalam kajian tafaq­quh fi al-din. Banyak dari lulusan pesantren yang siku­capang-sikucapeh, masuk ke PTU kalah bersaing dengan lulusan SMA, bahkan masuk IAIN/STAI pun, kurang bekal mendalami kajian ke­isla­man.Pada akhirnya, kualitas kajian keislaman dan produksi ulama di PTAI pun cenderung menurun akibat kualitas input yang diterima.
Jika ditilik latarbelakang ulama yang memiliki nama besar, baik di Sumbar maupun di Jawa, kebanyakan mereka adalah alumni dari pesantren model salaf. Mereka telah dididik mempelajari sejumlah kitab kuning untuk dikaji, diperdebatkan lalu mengambil inti patinya sebagai pedoman dalam mendidik sikap kebera­gamaan umat.
Hemat penulis, jika kita masih menginginkan kehadi­ran ulama yang alim dan karismatik sebagai salah satu fungsi pokok pesantren, maka pesantren model salafiyah harus tetap dikembangkan dan dipertahankan tanpa harus menghapus pesantren khalafiyah. Artinya, pesantren saat ini yang telah banyak menerapkan model khalafiyah harus berani membuka pro­gram pesantren salafiyah, apalagi pesantren yang sudah memiliki banyak santri.
Program ini khusus diper­untukkan bagi santri yang memiliki keinginan besar menjadi ulama. Pelak­sanaan­nya akan lebih efektif lagi jika diutamakan santri yang ting­gal di asrama (santri mukim).
Melalui program ini, santri lebih banyak difokuskan untuk mempelajari kitab-kitab ku­ning sebagai salah satu ciri khas pesantren. Mereka juga diberikan mata pelajaran umum, tetapi hanya lima mata pelajaran, yaitu PKN, Bahasa Indonesia, Matema­tika, IPA, dan IPS dengan bobot materi yang lebih ringan dari pada materi SMP/MTs. Jadi mereka tetap mempe­lajari mata pelajaran umum sebagai bentuk respons terha­dap modernisasi, tetapi porsi untuk materi kitab klasik lebih ditekankan.
Dengan begitu, mereka berhak memperoleh ijazah resmi tingkat Wustha yang setara dengan ijazah SMP/MTs dan diperkenankan untuk masuk ke tingkat selanjutnya, baik di SMA, SMK, apalagi Madrasah Aliyah.
Formalisasi dan Standarisasi
Namun hingga saat ini, formalisasi pesantren salafiyah hanya di tingkatan ula (SD) dan tingkat wustha (SLTP) sebagai respons atas wajib belajar 9 tahun. Sementara tingkat ‘ulya (SLTA) belum diatur lebih lanjut. Akibatnya, mereka harus menerapkan kurikulum Madrasah Aliyah formal. Persoalan yang sama akan muncul kembali, yaitu terlalu banyak mata pela­jaran yang harus diikuti.
Sebaliknya, jika mereka tetap bertahan menerapkan pola pesantren salafiyah, maka untuk memperoleh ijazah, mereka harus mengi­kuti ujian persamaan untuk memperoleh ijazah Paket-C. Kasus ini juga menimbulkan imej negatif dari masyarakat, sebab ijazah paket C masih dianggap oleh banyak orang sebagai ijazah siswa putus sekolah.
Karenanya, pemerintah melalui Kementerian Agama, harus melakukan percepatan formalisasi pesantren salafiyah di tingkat Ulya ini, seperti halnya tingkat Ula dan Wus­tha. Bahkan formalisasi pesan­tren salafiyah ini juga harus dilakukan di tingkat pergu­ruan tinggi (Ma’had Ali).
Selama ini, lulusan pesan­tren yang ingin melanjutkan studi keislamannya umumnya memilih STAI atau IAIN, padahal kurikulum yang dita­war­kan oleh PTAI ini, dinilai kurang mampu menindak­lanjuti kurikulum pesantren salafiyah. Akibatnya, sejumlah lulusan pesantren salafiyah yang cenderung kepada kajian keislaman kurang berminat ke PTAI ini.
Maka perlu dibentuk per­gu­ruan tinggi yang menin­daklanjuti kurikulum pesan­tren salafiyah itu, yaitu Ma’ had Ali. Atau PTAI seperti STAI dan IAIN membuka pula program studi Ma’had Ali sebagai kelanjutan dari kuri­kulum pesantren salafiyah tersebut, terutama jurusan keguruan di bidang Kitab Kuning.
Jika STAI atau IAIN mem­­buka program studi Ma’had Ali, terutama di Fakultas Tarbiyah untuk mempersiapkan guru-guru kitab kuning, maka guru-guru tersebut akan diakui sebagai guru profesional karena telah memenuhi kualifikasi aka­demik tingkat sarjana atau program diploma empat (pasal 8 & 9 UU No. 14 Th. 2005 ttg Guru dan Dosen).
Lebih lanjut, guru-guru ini berhak untuk diakui lalu memperoleh tunjangan serti­fikasi, sebagaimana guru-guru lainnya. Kalau hal ini bisa dilakukan, maka guru-guru kitab kuning di pesantren salafiyah lebih dihargai dan tidak dimarginalkan dan dibeda-bedakan dengan guru-guru “profesional” lainnya. Maka secara teknis, peran Direktorat Diniyan dan Pon­dok Pesantren sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Tidak sampai disitu, guru-guru yang telah diakui profe­sionalismenya ini bisa pula diangkat menjadi PNS. Ini penting, mengingat bahwa guru-guru kitab kuning di pesantren ini juga memiliki kebutuhan hidup. Di sisi lain, tidak semua pesantren mampu memenuhi kebutuhan guru-guru tersebut. Jika mereka dituntut untuk profesional dalam mendidik anak bangsa ini, maka kese­jahteraan mere­ka pun sepa­tutnya diperhati­kan.
Untuk menjadikan pesan­tren menjadi lembaga pendi­dikan formal, maka perlu pula dilakukan standarisasi yang mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standa­risasi yang mendesak untuk dilakukan adalah bidang kurikulum. Kementerian Aga­ma harus mengorganisir pim­pinan pesantren salafiyah untuk menentukan standar isi atau kurikulum dari pesan­tren salafiyah pada masing-masing tingkat.
Di satu sisi, pesantren sebagai sebuah lembaga pen­didikan tradisional khas Is­lam tidak bisa dipaksanakan untuk sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digunakan secara luas. Sebagaimana pendapat Abdurrahman Wahid bahwa kurikulum pesantren harus dikemas secara mandiri, karena perbedaannya dengan lembaga pendidikan konven­sional pada umumnya.
Namun di sisi lain, standarisasi ini diperlukan jika ingin melakukan forma­lisasi pesantren. Maka stan­darisasi di bidang kurikulum ini bisa dilakukan melalui pokok-pokok materi yang harus dikuasai tiap tingkatan. Se­men­tara jenis kitab yang digunakan dan metodologi yang dikembangkan diserah­kan kepada pesantren masing-masing sesuai dengan ke­unikan dan karakter yang dimilikinya.
Atasi Kelangkaan Ulama
Hemat penulis, untuk kasus Sumatera Barat, ide ini perlu direalisasikan. Sebab, banyak pesantren di Sumatera Barat yang dulunya hanya fokus pada kajian kitab ku­ning atau berorientasi pada tafaqquh fi al-din, kini berubah menjadi pesantren kolaboratif (khalaf) yang tetap memper­tahankan kitab kuning, tetapi secara bersamaan menerapkan pula kurikulum madrasah formal. Agaknya kondisi ini turut melatarbelakangi terja­dinya kelangkaan ulama.
Jika pesantren-pesantren ini membuka pula program salafiyah seperti wacana di atas, kita optimis akan lahir ulama-ulama yang alim dan karismatik dari ranah Minang­kabau ini. Sebab tidak bisa dipungkiri, sejumlah ulama besar dari ranah ini: Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Inyiak De-eR, hingga kepada Buya Hamka, dan masih banyak lagi lainnya, adalah ulama karismatik yang me­nguasai kajian kitab kuning sebagai ciri utama pembela­jaran surau yang kemudian berubah menjadi pesantren seperti saat ini.
Bukankah kita merindukan ulama yang alim, karismatik, istiqamah, tawadhu’ yang mencerdaskan dan mencerahkan serta menjadi model/teladan bagi kita di era serba materi ini?

1 komentar: