Ketua DPD PERTI Sumbar
Padang Ekspres • Senin, 01/04/2013
Jelang pemilihan
kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif dan pemilihan presiden ke depan,
akan selalu hadir di panggung-panggung masyarakat, mimbar khutbah dan ceramah
agama, di ruang publik, baik langsung maupun lewat media massa, tokoh-tokoh
penggerak masyarakat, termasuk ulama untuk membentuk opini agar
masyarakat memilih pemimpin mereka.
Pemilihan
langsung yang dibawa demokrasi ini telah ikut serta menyita energi tokoh
agama—mubalig, khatib dan ulama—baik karena memang mereka yang ingin merebut
satu posisi kepemimpinan ataupun mereka yang dijadikan alat penyampaian
informasi, pembentuk citra dan persepsi oleh tokoh tertentu untuk
memenuhi keinginan mereka menjadi pemimpin formal di level
tertentu.
Memang, salah
satu fitrah manusia adalah makhluk ingin berkuasa. Kekuasaan adalah satu di
antara impian dan keinginan yang diperjuangkan setiap orang. Posisi dan daya
tawar sosial akan menjadi ukuran level kepemimpinan mana yang akan direbutnya.
Dalam pandangan Islam, berkuasa bukanlah semata-mata upaya yang dapat direbut
setiap orang untuk mengangkat martabat dan harga dirinya. Tapi, ia juga menjadi
virus yang merontokkan kemuliaannya bila tidak dapat dipergunakan dengan baik.
Bahkan, kekuasaan itu juga menjadi sumber kemuliaan dan bencana bagi orang-orang yang memperolehnya…Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS, Ali Imran, 3:26).
Bahkan, kekuasaan itu juga menjadi sumber kemuliaan dan bencana bagi orang-orang yang memperolehnya…Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS, Ali Imran, 3:26).
Fiqh
Politik Ulama
Dalam sejarah
Islam dicatat bahwa perdebatan tentang perebutan kekuasaan sudah muncul sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ketika ada dua kubu umat dalam menetapkan siapa
yang akan menggantikan Nabi? Apakah kepemimpinan Islam dipegang keluarga Nabi,
sahabat utama yang berjuang bersama nabi sejak dari Mekkah (Muhajirin)
atau orang-orang pilihan yang memberikan bantuan pada kaum muhajirin yaitu
orang-orang Madinah, dikenal dengan sebutan Anshar. Namun kemudian, perpecahan
itu mampu diredakan dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah, lewat satu
kesepakatan bersama yang dikenal dengan sebutan Baiah Tsaqifaf Bani Saidah.
Selanjutnya
berjalanlah masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam suasana dan semangat
persatuan yang erat. Namun pada masa pemerintahan khalifah Usman terjadilah
gonjang ganjing politik yang mengguncangkan tampuk kekuasaan yang ditimbulkan
oleh tindakan Usman sendiri yang tidak populer dan kurang disetujui oleh rakyat
yang dipimpinnya. Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang
yang haus kekuasaan untuk menggulingkan pemerintahan Usman. Pada babak
selanjutnya muncul berbagai gejolak politik, perebutan kekuasaan dan memicu
muncul pemikiran keagamaan dalam bidang akidah, fiqih dan tasawuf Islam.
Akar perbedaan
dalam masalah bagaimana menjalankan roda kepemimpinan, siapa yang berhak
menjadi pemimpin dan dengan cara bagaimana pemimpin dipilih atau diangkat ini
adalah bagian penting dalam kajian fiqih Islam. Bagian (bab) tentang
kekuasaan yang disebut fiqh siyasah (fiqih politik) adalah landasan
hukum dalam menetapkan landasan moral dan hukum tentang kekuasaan dan
kepemimpinan dalam Islam. Prinsip dasar yang menjadi tugas utama dalam
kekuasaan Islam adalah melaksanakan tujuan pokok syariat Islam, ya’muruna
bil ma’ruf tanhauna ‘anil munkar, tegaknya kebaikan berikut segala unsur
yang menunjangnya dan habis atau hilang segala jenis kemunkaran dan
ketidakbaikan, sesuai pesan suci ilahi (QS. Ali Imran, 3:104).
Prinsip dasar
dari fiqih Islam yang tentunya juga harus menjadi landasan berpikir dan
bertindak bagi aktualisasi fiqih politik ulama adalah amar ma’ruf nahi
munkar dan akhlakul karimah. Prinsip dan etika ulama dalam berpolitik
tidak boleh sembarangan atau keluar dari jalur prokebaikan, tegas terhadap
kemungkaran dan santun atau berakhlak mulia dalam menyikapi intrik, konflik dan
interest dalam setiap sesi kehidupan berpolitik. Ulama sebagai contoh model
dalam menerapkan politik Islam tentu tidak boleh terjebak pada budaya hedonis
politik, politik kotor, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan,
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan sehingga mengabaikan nilai, etika dan moral
kehidupan luhur.
Fiqih politik
agama yang akan dimainkan oleh ulama harus tunduk pada tuntunan ilahi dalam
rangka tugas memberikan bimbingan kepada umat agar jangan salah dalam memainkan
kartu politik. Ulama harus mampu mengkonsolidasikan dan membimbing umat agar
dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara tepat, benar dan tidak melanggar
doktrin suci Allah SWT, ….Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali [Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab,
juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.] dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
dan hanya kepada Allah kembali (mu). (QS Ali Imran, 3:28)
Penegasan bahwa
ulama harus tahu dan mengerti politik adalah pesan penting yang dimaksudkan
oleh fiqih politik ulama. Ulama harus mampu mencontohkan kepada umat bahwa
politik itu harus dapat dijalankan sesuai petunjuk Allah, politik harusnya
dikontribusikan untuk kepentingan lebih luas. Bahkan, ada yang mengatakan
politik akan menjadi ibadah bila niat, cara dan tujuannya untuk kemaslahatan
umat. Tetapi sebaliknya, politik akan mendatangkan bencana bila fiqih
politiknya didasarkan pada keserakahan untuk berkuasa dengang menjadikan
ayat-ayat Allah sebagai legetimasi politik belaka.
Ulama dituntut
untuk tidak mau diintervensi oleh politikus busuk, khususnya dalam mengajak
umat memilih mereka yang nyata-nyata sudah cacat dan bejat moralnya. Ulama
harus mampu berpikir dan bertindak proporsional, elegan, arif dan menempatkan
kepentingan umat dan agama di atas kepentingan orang, kelompok atau ideologi
tertentu. Nilai dan ideologi Islam adalah kompas yang tak boleh lepas dalam
menjalan politik Islam.
Peran
dan Posisi Ulama
Keberadaan ulama
begitu penting dan strategis dapat diamati dari peran yang ditunjukkan ulama.
Meskipun, sekarang sudah terbatas namun penting dan menentukan corak kehidupan
masyarakat. Wadah pengabdian ulama yang tersisa, dalam hal ini adalah khutbah
Jumat, ceramah agama, pembaca doa dan pemberi nasihat dalam iven pernikahan
atau kegiatan keagamaan lainnya, tetap masih penting dalam menggerakkan
perubahan serta mengawal moral umat, termasuk dalam politik.
Untuk memberikan
penguatan dan pengokohan terhadap mimbar khutbah, ceramah dan tausiyah sebagai
panggung mulia yang dimiliki ulama, maka perlu dilakukan upaya yang
berkelanjutan yang dapat menegaskan fungsi-fungsi ulama tersebut. Fungsi mulia
ulama sebagai pewaris perjuangan Nabi harusnya dapat menjadikan ulama bersikap
tegas terhadap pihak-pihak yang menggugat, melecehkan ataupun menolak
keberadaan nabi, kesucian agama Islam dan perilaku tidak terpuji yang dilakukan
orang per orang lalu digeneralisir sebagai ajaran agama. Dalam berpolitik,
sikap ulama harus jelas menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu ya
salah. Ulama tidak boleh abu-abu atau mendua.
Nasihat ulama di
atas mimbar dan tempat pengajian harus difokuskan pada usaha membentengi akidah
umat dari perusakan dan kerusakan. Perusakan dan kerusakan akidah adalah bahaya
yang sedang dan terus akan mengintai umat. Begitu juga harus mampu
memperlihatkan akhlak mulia dan berpolitik santun dalam menyikapi ekses yang
ditimbulkan atau sengaja direkayasa untuk merusak citra diri ulama.
Relasi sosial
antarumat Islam dan umat lain, ulama juga dituntut mengokohkan pendiriannya
sebagai perekat ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah
dan basyariyah. Ukhuwah adalah program awal yang diluncurkan
Nabi Muhammad SAW, ketika baru saja menginjakkan kakinya dibumi Yastrib
(Madinah). Mengubah sistem sosial dari hubungan sosial kemasyarakatan
yang didasarkan benda (uang, dagang, jabatan dan status sosial)
digantinya dengan hubungan didasarkan satu paham keagamaan (Islam). “Orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” (QS.49:10).
Sisi lain yang
harus diperkuat pada mimbar atau panggung umat yang dikuasai ulama adalah kedudukan
ulama sebagai penganjur dan penegak amar ma’ruf nahyi mungkar. Ulama
bukan saja pioner dari kebaikan, akan tetapi ia juga tidak boleh berkompromi
dengan kemungkaran. Tegas, istiqamah dan ikhlas dalam memperjuangkan amar
ma’ruf nahi munkar adalah sikap moral yang tidak boleh menipis di kalangan
ulama.
Motivasi
dan misi yang hendaknya ditanamkan ke dalam diri kaum ulama adalah,
kehadiran ulama bukanlah untuk dirinya sendiri, ia juga bertugas melayani
kepentingan umat. Ulama adalah khadimul ummah. Nasihat ulama kepada
pemimpin, umat dan siapa saja adalah bentuk pelayanan ulama yang harus
dimengerti semua pihak. Bila ada pendapat, tausiyah, pengajian dan tulisan
ulama yang menyatakan kebenaran mestinya dihargai. Karena, nasihat ulama jelas
didasarkan pada nilai-nilai dasar agama Allah yang pasti benarnya. Kalau
demikian, tidak ada alasan meremehkan atau tidak mempedulikan nasihat ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar