Oleh: Muhammad
Kosim
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat/49: 6)
Akhir-akhir
ini, kita disungguhkan berita tentang kasus korupsi yang mengehebohkan, baik
dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Di tingkat nasional, kasus
yang paling hangat adalah kasus Hambalang. Berbagai pihak merasa paling benar.
Publik pun berspekulasi dan berprasangka. Ada yang mengecam KPK karena
diintervensi kekuasaan, ada yang menilai Demokrat sebagai partai sadis, SBY pun
dicaci dengan pernyataan-pernyataan kontroversi, ada pula yang mengutuk Anas
agar segera digantung di monas.
M. Nazaruddin
pun mulai diaggap “pahlawan”. Dulu ia dicaci dan dicap sebagai pembual,
pembohong besar. Kini, pengacaranya menyebut “suara Nazar suara kebenaran”, dan
di-amin-kan oleh sebagian orang.
Begitu pula di
tingkat lokal, Sumatera Barat, kasus safari dakwah PKS. Ada yang mengecam Irwan
Prayitno karena dianggap terlibat mempermaikan anggaran. Ada pula yang membela
sang gubernur. Sementara Pak Irwan sendiri memilih untuk “sabar” dan menganggap
tudingan kepadanya sebagai black campain, seperti yang ditulisnya di
Teras Padek, Kamis (7/3) lalu.
Pendeknya,
mereka yang berseberangan sama-sama mengaku benar. Namun tidak sedikit di
antara masyarakat yang berpikir negatif, bahkan mengeluarkan sumpah-serapah
kepada pihak yang dianggapnya salah. Ironisnya, mereka yang bertikai adalah
pemimpin. Mereka juga bagian dari saudara seiman. Bukankah sesama mukmin saling
menguatkan satu sama lain dan laksana satu tubuh?
Menyikapi
berita yang selalu menjadi topik hangat itu, selaku umat yang beriman sejatinya
tidak mudah terpancing menuding, apalagi menyumpahi mereka yang belum jelas
salah-benarnya. Dalam hal ini, belajarlah pada firman Tuhan dalam surat
al-Hujurat ayat 6 di atas.
Dalam ayat
tersebut dengan tegas Allah menyeru orang-orang beriman agar melakukan tabayyun ketika menerima informasi atau berita, apalagi jika berita itu datang
dari orang-orang fasik. Kata fatabayyanu
berarti periksalah dengan teliti.
Kata jadiannya (mashdar) adalah tabayyun. Akar katanya
adalah ba’, ya’ dan nun, artinya berkisar pada
jauhnya sesuatu dan terbuka, dari sini muncul arti jelas (lihat Tafsir Alquran
Departemen Agama).
Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, jelas, dengan pelan-pelan/hati-hati,
dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan
urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Prinsip
kehati-hatian ini ditegaskan Rasulullah SAW: “hati-hati itu dari Allah, sedangkan
terburu-buru itu dari setan”.
Ayat ini juga mengajarkan agar kita teliti terhadap berita yang
disampaikan oleh orang-orang fasik. Kata fasiq sendiri
berasal dari kata fasaqa
yang biasa melukiskan buah yang telah
rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Orang yang fasik atau
durhaka adalah orang yang telah keluar dari koridor agama, akibat melakukan
dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil. Demikian tafsir Quraish
Shihab dalam al-Mishbah.
Kefasikan
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Kefasikan yang menjadikan pelakunya tetap
muslim akan tetapi mereka bermaksiat, (QS. al-Hujurat/49: 6) dan kefasikan yang
menjadikan pelakunya kafir, keluar dari Islam (QS. as-Sajadah/32: 18).
Oleh karena itu, berhati-hatilah menerima berita, apalagi berita itu
datang dari orang yang durhaka: mereka nyatakan dirinya beragama Islam, tetapi
ia sendiri melakukan larangan Tuhan, termasuk korupsi. Bukan berarti apa yang
dikatakan para koruptor itu mesti ditolak, tetapi Alquran mengisyaratkan agar
kita tabayyun.
Sebaliknya, jika kita tidak hati-hati, mudah terpancing
dengan isu yang belum pasti kebenarannya, berspekulasi tanpa ada bukti yang
nyata, maka di akhir ayat itu Allah mengancam orang-orang tersebut akan
menimbulkan musibah bagi yang disangkakan dan mereka pun akan memperoleh
penyesalan.
Jika prasangka
mereka tidak benar, sementara lisannya telah mencaci-maki, maka jatuhlah ia
pada perbuatan fitnah. Padahal fitnah itu perbuatan yang sangat keji yang
menimbulkan dosa besar (Qs. al-Baqarah/2: 191. 217), menimbulkan permusuhan dan
mengundang kutukan Tuhan.
Firman-Nya: Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar [berita] perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.(QS.
an-Nur [24]:19).
Sikap yang
benar yang harus dilakukan agar kita tidak terpancing oleh berita fitnah, maka perlu
diperhatikan bahwa tidak semua berita harus kita dengar dan kita baca,
khususnya berita yang membahas aib dan membahayakan pikiran. Tidak terburu-buru
dalam menanggapi berita, akan tetapi diperlukan tabayyun dan pelan-pelan
dalam menelusurinya.
Selain dari
fitnah yang ditimbulkan, prasangka negatif akibat berita yang tidak diteliti
kebenarannya juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemimpin. Padahal,
Islam mengajarkan agar mentaati pemimpin selama pemimpin itu tidak bertentangan
dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya (Qs. an-Nisa’/4: 59).
Karena itu
pula, pemimpin juga dituntut untuk berlaku adil, tidak merekayasa dan
mempolitisir kebenaran. Mereka harus mementingkan kepentingan rakyatnya dari
pada kepentingan pribadi dan golongan.
Namun jika
pemimpin itu sendiri yang telah fasiq, merekayasa kebenaran, maka
pemimpin itu adalah pemimpin zhalim. Dalam konteks demokrasi yang berlangsung
di Indonesia, sejatinya pemimpin yang lahir adalah pemimpin yang adil. Sebab ia
dipilih oleh rakyat yang sejatinya juga bersih, cerdas, adil, sehingga memilih
pemimpin bukan karena uang (money politic), bukan karena iklan, atau
janji manis penuh rayuan. Atau jangan-jangan rakyat kita sendiri yang sudah
kebanyakan berlaku zhalim sehingga melahirkan pemimpin yang zhalim pula? Na’udzu
billah.
Pendeknya, dalam
kasus korupsi seperti yang disinggung di atas, hendaklah kita menyerahkan
kepada lembaga penegak hukum. Publik bisa mengawalnya, tanpa harus berprasangka
negatif membabi buta terlebih dahulu, apalagi melontarkan kata-kata yang
menghina dan menghukum seseorang benar-benar bersalah.
Selain itu,
kita harus bertawakkal kepada Allah dengan senantiasa bermunajat kepada-Nya
sebagaimana yang diajarkan Rasul-Nya:
Allahumma arinal haqqa haqq(an) warzuqnat tiba’ah, wa arinal
bathila bathil(an) warzuqnaj tinabah, wala taj’alhu multabis(an) ‘alaina
fanadhillu waj’alna lil muttaqina imama.
“Ya Allah perlihatkanlah
kepada kami yang benar itu adalah benar, lalu bimbinglah kami untuk
mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang salah ltu adalah salah, dan
kemudian bimbinglah kami untuk menghindarinya. Janganlah dijadikan yang benar dan salah itu
samar-samar bagi kami, yang akan menyebabkan kami sesat. Dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang takwa. (HR Bukhari dan Muslim); Amin...
mantap
BalasHapus