Oleh: Prpf. Dr. Duski SamadTuanku Mudo, M.Ag
Ketua DPD Perti Sumbar
TAHUN ini para pengamat
sering menyebut sebagai tahun politik. Mendiskusikan politik berkaitan
erat dengan kekuasaan. Kekuasaan akan dapat berjalan efektif bila
dipegang pemimpin memiliki modal kuat dalam kepemimpinannya.
Pembicaraan soal pemimpin dan kepemimpinan pada 2013 dan 2014 mendatang
akan terus bergulir, dan menjadi hangat di berbagai level masyarakat.
Fokus opini cukup santer dibahas adalah modal dimiliki dan siap
disalurkan untuk merebut satu posisi pemimpin. Ada malah komentar di
warung-warung bahwa hanya mereka punya modal—punya material atau uang
banyak—bisa eksis dan memperoleh kesempatan memperebutkan kursi
kepimpinan di negeri yang tengah mengidap demam demokrasi prosedural
ini.
Lebih sedih lagi, pola pikir keliru semacam
ini dipelesetkan pula secara enteng oleh mereka yang tidak peduli
kerusakan moral, apa salahnya kita terima uang orang, bukankah kelak
mereka juga akan mendapat uang dari jabatannya. Budaya mentransfer
kebiasaan korupsi adalah perbuatan tercela dan tidak pantas. Dampak
lanjutan dari sikap permisif tentang perlunya modal uang oleh seorang
pemimpin adalah melahirkan sikap anomali dan oportunis alias munafik
dari masyarakat, bahkan tokoh masyarakat sekalipun ada terjangkiti virus
menyimpang itu.
Padahal dalam konteks sesungguhnya, modal
pemimpin bukanlah uang atau material semata. Uang atau material hanya
modal pendukung. Sejarah para nabi menunjukkan keberhasilan mereka
bukanlah disebabkan kekuatan material yang mereka hambur-hamburkan,
bahkan sejarah membuktikan pula pemimpin sukses adalah mereka miskin
modal uang namun kaya modal nonmaterial. Untuk menakar berapa dan
seperti apa modal harus dipunyai pemimpin, sejarah kepemimpinan Nabi
dapat dijadikan tolok ukur.
Nabi Musa AS, misalnya. Keangkuhan dan
kearoganan Fir’aun yang dikisahkan beberapa kali dalam Al Quran sama
sekali tidak menciutkan nyali kepemimpinan Nabi Musa. Ketika Allah SWT
memberikan instruksi berupa wahyu agar segera mengambil inisiatif dan
kerja dakwah untuk menundukkan Fir’aun yang melampaui batas itu, Nabi
Musa AS berdoa untuk diberikan 4 modal kepemimpinan.
Pemimpin Lapang Dada
Lapang dada adalah simbol orang luwes cara
berpikir dan tenang dalam bersikap. Lapang dada adalah kesiapan diri
menerima berbagai keadaan. Pemimpin lapang dada adalah mereka tidak
berpikir sempit dan cepat tersulut emosi menghadapi tingkah polah
orang-orang mereka pimpin. Pemimpin lapang dada adalah mereka memiliki
kendali kontrol tangguh dan tegas menghadapi situasi sulit. Lapang dada
juga dapat dikatakan mereka tidak terjebak pada sikap kecil dan
mengelompok pada kotak sempit.
Pemimpin lapang dada akan lebih
mengutamakan kepentingan lebih luas dari kepentingan sepihak atau
sekelompok orang. Pemimpin lapang dada dapat juga dikatakan mereka lebih
mengedepankan sikap negarawan di atas sikap sektarian dan
primordialisme.
Nabi dan rasul adalah orang-orang pilihan
tak pernah surut dan mundur dalam memperjuangan cita-cita mulia
menegakkan kebenaran, sesulit dan serumit apa pun keadaan dideritanya.
Rasul dan Nabi sangat terkenal kelapangan dadanya dalam mendakwahkan
kebenaran kepada setiap lapisan masyarakat.
Tokoh semacam Bung Hatta adalah pemimpin
lapang dada. Bung Hatta dikenal hemat, cermat, berbudi pekerti tinggi
dan tetap berjuang bersama bangsa—sampai kuburannya harus bersama
rakyat. Kelapangan dada Bung Hatta dikenal luas, ketika Bung Karno tidak
lagi dapat sejalan dengannya, melalui cara-cara lapang dada Bung Hatta
mengundurkan diri tanpa harus memburuk-burukkan saudaranya.
Hal serupa dapat ditemukan juga pada diri
Buya Hamka. Pemenjaraan dilakukan Bung Karno terhadap Buya Hamka tidak
membuat beliau menaruh dendam pada Bung Karno. Buya Hamka tetap
menjenguk dan ikut menshalatkan Bung Karno saat meninggal. Hampir semua
pahlawan bangsa adalah pemimpin lapang dada. Patutlah dicontoh dan
dijadikan spirit oleh siapa saja yang menyiapkan diri jadi pemimpin di
negeri ini.
Profesional dan Berkapasitas
Modal utama kedua adalah kemampuan
profesional dan kapasitas diri. Urusan kepemimpinan itu jelas tidak
mudah dan tidak sederhana. Urusan kepemimpinan itu memerlukan
seperangkat kemampuan manajerial dan kemampuan teknis.
Penjenjangan pendidikan (S-1, S-2 dan S-3)
dapat menjadi tolok ukur kemampuan profesionalitas seseorang. Begitu
juga pengalaman hidup atau track record yang pernah ditorehkan
seseorang, dapat pula menentukan keprofesionalannya. Lebih dari itu,
seorang pemimpin harus memiliki kemauan dan kapasitas kuat dan terukur.
Bekerja setengah hati, apalagi kalau tidak dengan modal kekuatan hati,
alamat akan rusak masyarakat dipimpinnya.
Efektif Berkomunikasi
Modal penting lainnya mesti harus dimiliki
seorang pemimpin adalah komunikasi efektif dan efisian. Ide, gagasan dan
rencana besar melekat dalam pikiran tidak akan diketahui atau diikuti
orang bila tidak dijelaskan dengan baik dan lugas.
Kekakuan berkomunikasi adalah, juga masalah
besar suksesnya seorang pemimpin, sebagaimana Nabi Musa AS berdoa
kepada Tuhannya, “…… Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
Menakar seberapa efektif dan baiknya pola
dan sistem komunikasi seseorang, tidak dapat dilepaskan dari budaya di
mana dia hidup. Poinnya, siapa pun menyatakan diri siap menjadi
pemimpin, dituntut mampu menggunakan komunikasi efektif berbasis budaya
hidup dalam masyarakat.
Lebih mencemaskan lagi, kalau pemimpin
terpilih berasal dari agama tidak sama dengan umat yang dipimpinnya.
Masyarakat diimbau memberikan dukungan kepemimpinan pada figur yang
memiliki akar budaya dan agama yang sama, guna kebaikan negeri ini di
masa mendatang. Komunikasi beda agama dan budaya menjadi hambatan
siginifikan dalam proses menuju kemajuan.
Dukungan Setia
Pemimpin adalah sosok tidak akan bisa
berjalan dengan kehebatannya sendiri. Pemimpin pastilah dibantu
orang-orang terdekat dengannya, baik dekat dalam artian struktural
maupun dalam makna sosial dan personal. Pembantu-pembantu dekat adalah
personal cukup besar, artinya dalam mempengaruhi kinerja pemimpin.
Bagaimana pemimpin memilih orang-orang dekat dan atau pembantunya
patutlah mereka belajar pada kepemimpin Nabi Musa, “… Dan jadikanlah
untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku.
Teguhkanlah dengan dia kekuatanku. Dan jadikankanlah dia sekutu dalam
urusanku. Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau. Dan banyak
mengingat Engkau.”
Orang-orang sekitar pemimpin didasarkan
atas dasar hubungan kepentingan, tali darah dan tidak atas pertimbangan
profesionalitas, jelaskan akan membahayakan diri pemimpin itu sendiri.
Akan tetapi, itu juga tidak sepenuhnya tidak baik, malah justru membantu
lebih baik jika mereka memiliki kemampuan kinerja benar-benar dapat
meneguhkan visi, misi dan program kerja pemimpin tersebut. Pilihan Nabi
Musa meminta Harun saudaranya menjadi pembantunya didasarkan pada
kompetensi dan kekuatan agamanya, ini sangat berharga untuk diteladani
pemimpin.
Bila umat mau menakar modal pemimpin,
janganlah dihitung dengan jumlah uang mereka miliki. Uang atau modal
material hanyalah instrumen, tidak akan bisa menyukseskan pemimpin kalau
ia tidak berada di bawah kendali orang cerdas, bijak dan profesional.
Modal kebesaran jiwa, profesionalitas, memiliki komunikasi efektif, dan
didukung tim kompeten, serta taat asas adalah hal sangat menentukan
suksesnya pemimpin. Selamat memilih pemimpin menurut acuan Sang
Pencipta. (*)
Teras Padang Ekspres • Jumat, 15/03/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar