Formalisasi dan Standarisasi Pesantren Salafi
Oleh: Muhammad Kosim
Paling tidak ada tiga fungsi pokok pesantren, yaitu: sebagai transmisi pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge), pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition), dan kaderisasi calon-calon ulama (reproduction of ulama).Namun terdapat sejumlah persoalan untuk menjalankan fungsi tersebut, di antaranya adalah dalam menghadapi tantangan modernisasi.
Dewasa ini, pola pesantren yang berkembang di tanah air ada dua bentuk, yaitu yaitu salaf dan khalaf. Pesantren Salafiyah lebih mempertahankan identitas aslinya dengan menitikberatkan pada kajian kitab kuning atau kitab klasik.
Sedangkan pesantren khalafiyah atau ‘Ashriyah’ adalah pondok pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah, kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, melalui penyelenggaraan SD, SMP, dan SMU, atau MI, MTs, dan MA. Bahkan ada pula yang sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Kenyataanya, banyak di antara pesantren saat ini, termasuk di Sumbar, yang memilih model pesantren khalafiyah. Di antara alasannya adalah untuk meladeni tawaran modernitas yang kian maju dan berkembang ke depan. Pola ini dianggap menguntungkan alumninya karena bisa melanjutkan ke perguruan tinggi umum (PTU) atau agama (PTAI). Pilihan ini juga sering dianggap sebagai respons atas kebutuhan zaman dan keinginan orang tua.
Namun realitanya perubahan dan perkembangan pesantren menjadi khalafiyah ini mengakibatkan tambah padatnya beban belajar, yang semula hanya mempejari kurikulum pesantren dituntut menguasai kurikulum pendidikan formal.Akibatnya kurikulum pesantren yang bersifat tafaqquh fi al-din makin tergerus dan santri lebih mengutamakan penguasaan kurikulum pendidikan formalnya. Identitas pesantren pun dalam ancaman.
Mereka harus menguasai seluruh mata pelajaran madrasah sesuai SKB 3 Menteri 1975 yang merupakan akumulasi dari mata pelajaran umum di SMP/SMA dengan mata pelajaran PAI (Alquran Hadis, Akidah Akhlak, Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam) dan Bahasa Arab (pola 70% umum dan 30% agama).
Dengan begitu, santri di pesantren ini harus menguasai mata pelajaran sekolah umum, mata pelajaran madrasah, dan mata pelajaran pondok pesantren. Teori pendidikan mana di dunia ini yang menilai dan mengakui efektifitas pola pembelajaran seperti ini?
Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh para buya atau ulama senior saat ini. Pola ini dianggap sebagai salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas pesantren dalam melahirkan ulama yang kompeten dalam kajian tafaqquh fi al-din. Banyak dari lulusan pesantren yang sikucapang-sikucapeh, masuk ke PTU kalah bersaing dengan lulusan SMA, bahkan masuk IAIN/STAI pun, kurang bekal mendalami kajian keislaman.Pada akhirnya, kualitas kajian keislaman dan produksi ulama di PTAI pun cenderung menurun akibat kualitas input yang diterima.
Jika ditilik latarbelakang ulama yang memiliki nama besar, baik di Sumbar maupun di Jawa, kebanyakan mereka adalah alumni dari pesantren model salaf. Mereka telah dididik mempelajari sejumlah kitab kuning untuk dikaji, diperdebatkan lalu mengambil inti patinya sebagai pedoman dalam mendidik sikap keberagamaan umat.
Hemat penulis, jika kita masih menginginkan kehadiran ulama yang alim dan karismatik sebagai salah satu fungsi pokok pesantren, maka pesantren model salafiyah harus tetap dikembangkan dan dipertahankan tanpa harus menghapus pesantren khalafiyah. Artinya, pesantren saat ini yang telah banyak menerapkan model khalafiyah harus berani membuka program pesantren salafiyah, apalagi pesantren yang sudah memiliki banyak santri.
Program ini khusus diperuntukkan bagi santri yang memiliki keinginan besar menjadi ulama. Pelaksanaannya akan lebih efektif lagi jika diutamakan santri yang tinggal di asrama (santri mukim).
Melalui program ini, santri lebih banyak difokuskan untuk mempelajari kitab-kitab kuning sebagai salah satu ciri khas pesantren. Mereka juga diberikan mata pelajaran umum, tetapi hanya lima mata pelajaran, yaitu PKN, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS dengan bobot materi yang lebih ringan dari pada materi SMP/MTs. Jadi mereka tetap mempelajari mata pelajaran umum sebagai bentuk respons terhadap modernisasi, tetapi porsi untuk materi kitab klasik lebih ditekankan.
Dengan begitu, mereka berhak memperoleh ijazah resmi tingkat Wustha yang setara dengan ijazah SMP/MTs dan diperkenankan untuk masuk ke tingkat selanjutnya, baik di SMA, SMK, apalagi Madrasah Aliyah.
Formalisasi dan Standarisasi
Namun hingga saat ini, formalisasi pesantren salafiyah hanya di tingkatan ula (SD) dan tingkat wustha (SLTP) sebagai respons atas wajib belajar 9 tahun. Sementara tingkat ‘ulya (SLTA) belum diatur lebih lanjut. Akibatnya, mereka harus menerapkan kurikulum Madrasah Aliyah formal. Persoalan yang sama akan muncul kembali, yaitu terlalu banyak mata pelajaran yang harus diikuti.
Sebaliknya, jika mereka tetap bertahan menerapkan pola pesantren salafiyah, maka untuk memperoleh ijazah, mereka harus mengikuti ujian persamaan untuk memperoleh ijazah Paket-C. Kasus ini juga menimbulkan imej negatif dari masyarakat, sebab ijazah paket C masih dianggap oleh banyak orang sebagai ijazah siswa putus sekolah.
Karenanya, pemerintah melalui Kementerian Agama, harus melakukan percepatan formalisasi pesantren salafiyah di tingkat Ulya ini, seperti halnya tingkat Ula dan Wustha. Bahkan formalisasi pesantren salafiyah ini juga harus dilakukan di tingkat perguruan tinggi (Ma’had Ali).
Selama ini, lulusan pesantren yang ingin melanjutkan studi keislamannya umumnya memilih STAI atau IAIN, padahal kurikulum yang ditawarkan oleh PTAI ini, dinilai kurang mampu menindaklanjuti kurikulum pesantren salafiyah. Akibatnya, sejumlah lulusan pesantren salafiyah yang cenderung kepada kajian keislaman kurang berminat ke PTAI ini.
Maka perlu dibentuk perguruan tinggi yang menindaklanjuti kurikulum pesantren salafiyah itu, yaitu Ma’ had Ali. Atau PTAI seperti STAI dan IAIN membuka pula program studi Ma’had Ali sebagai kelanjutan dari kurikulum pesantren salafiyah tersebut, terutama jurusan keguruan di bidang Kitab Kuning.
Jika STAI atau IAIN membuka program studi Ma’had Ali, terutama di Fakultas Tarbiyah untuk mempersiapkan guru-guru kitab kuning, maka guru-guru tersebut akan diakui sebagai guru profesional karena telah memenuhi kualifikasi akademik tingkat sarjana atau program diploma empat (pasal 8 & 9 UU No. 14 Th. 2005 ttg Guru dan Dosen).
Lebih lanjut, guru-guru ini berhak untuk diakui lalu memperoleh tunjangan sertifikasi, sebagaimana guru-guru lainnya. Kalau hal ini bisa dilakukan, maka guru-guru kitab kuning di pesantren salafiyah lebih dihargai dan tidak dimarginalkan dan dibeda-bedakan dengan guru-guru “profesional” lainnya. Maka secara teknis, peran Direktorat Diniyan dan Pondok Pesantren sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Tidak sampai disitu, guru-guru yang telah diakui profesionalismenya ini bisa pula diangkat menjadi PNS. Ini penting, mengingat bahwa guru-guru kitab kuning di pesantren ini juga memiliki kebutuhan hidup. Di sisi lain, tidak semua pesantren mampu memenuhi kebutuhan guru-guru tersebut. Jika mereka dituntut untuk profesional dalam mendidik anak bangsa ini, maka kesejahteraan mereka pun sepatutnya diperhatikan.
Untuk menjadikan pesantren menjadi lembaga pendidikan formal, maka perlu pula dilakukan standarisasi yang mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standarisasi yang mendesak untuk dilakukan adalah bidang kurikulum. Kementerian Agama harus mengorganisir pimpinan pesantren salafiyah untuk menentukan standar isi atau kurikulum dari pesantren salafiyah pada masing-masing tingkat.
Di satu sisi, pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional khas Islam tidak bisa dipaksanakan untuk sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digunakan secara luas. Sebagaimana pendapat Abdurrahman Wahid bahwa kurikulum pesantren harus dikemas secara mandiri, karena perbedaannya dengan lembaga pendidikan konvensional pada umumnya.
Namun di sisi lain, standarisasi ini diperlukan jika ingin melakukan formalisasi pesantren. Maka standarisasi di bidang kurikulum ini bisa dilakukan melalui pokok-pokok materi yang harus dikuasai tiap tingkatan. Sementara jenis kitab yang digunakan dan metodologi yang dikembangkan diserahkan kepada pesantren masing-masing sesuai dengan keunikan dan karakter yang dimilikinya.
Atasi Kelangkaan Ulama
Hemat penulis, untuk kasus Sumatera Barat, ide ini perlu direalisasikan. Sebab, banyak pesantren di Sumatera Barat yang dulunya hanya fokus pada kajian kitab kuning atau berorientasi pada tafaqquh fi al-din, kini berubah menjadi pesantren kolaboratif (khalaf) yang tetap mempertahankan kitab kuning, tetapi secara bersamaan menerapkan pula kurikulum madrasah formal. Agaknya kondisi ini turut melatarbelakangi terjadinya kelangkaan ulama.
Jika pesantren-pesantren ini membuka pula program salafiyah seperti wacana di atas, kita optimis akan lahir ulama-ulama yang alim dan karismatik dari ranah Minangkabau ini. Sebab tidak bisa dipungkiri, sejumlah ulama besar dari ranah ini: Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Inyiak De-eR, hingga kepada Buya Hamka, dan masih banyak lagi lainnya, adalah ulama karismatik yang menguasai kajian kitab kuning sebagai ciri utama pembelajaran surau yang kemudian berubah menjadi pesantren seperti saat ini.
Bukankah kita merindukan ulama yang alim, karismatik, istiqamah, tawadhu’ yang mencerdaskan dan mencerahkan serta menjadi model/teladan bagi kita di era serba materi ini?
MTI perlu melakukan kajian ini!
BalasHapus