Oleh: Muhammad Kosim, MA
Namanya
adalah Muhammad Sulaiman bin
Muhammad Rasul. Murid-muridnya menyebut: Maulana
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, atau “Inyiak
Canduang”. Ia lahir pada petang Ahad malam Senin tanggal 10 Desember 1871 M
bertepatan bulan Muharram 1297 H di Surau Pakan Kamis, Nagari
Canduang Koto Laweh, Kabupaten Agam,
propinsi Sumatera Barat.
Ayahnya bernama Angku Mudo
Muhammad Rasul, seorang ulama yang disegani di kampungnya dan mengajar di Surau
Tangah Canduang. Ibunya bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang perempuan
yang taat beragama. Kakeknya (ayah dari ayahnya) juga seorang ulama yang
berpengaruh di kampungnya, yaitu Tuanku Nan Pahit. Jadi, Sulaiman ar-Rasuli lahir dari keluarga
yang taat beragama dan pendidik di tengah-tengah masyarakatnya.
Di
antara gurnya adalah: Syekh Muhammad Arsyad bin Syekh Abdurrahman al-Khalidi
(1899–1924 M) di Batu Hampar Kabupaten 50 Kota, Syekh Abdussamad Tuanku Samiak
Ilmiyah, di Biaro IV Angkat Agam, Tuanku Kadi Salo (guru tuo beliau yang
kelak menjadi pengunjung—jamaah—majlis taklim yang dibinanya, namun ia tidak
memperlakukannya sebagai murid melainkan tetap dihormatinya sebagi guru), Syekh
Mohammad Ali Tuanku Kolok di Tanjung Sungayang Kabupaten Tanah Datar, dan Syekh
Abdullah Halaban.
Pada
tahun 1903, beliau menunaikan ibadah Haji dan menuntut ilmu ke beberapa ulama
terkemuka, di antaranya: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mukhtar
‘Atharad as-Shufi, Syekh Usman al-Sirwaqi, Syekh Muhammad Sa’id Mufty
al-Syafe’i, Syekh Nawawi Banten, Syekh Ali Kutan al-Kelantani, Syekh Ahmad
Muhammad Zain al-Fathani, Said Ahmad Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan
Said Babasil Yaman.
Di
Mekah, ia seangkatan dengan beberapa ulama dari tanah air, seperti: Syekh Abdul
Karim Amrullah (Ayah Hamka), Syekh Muhammad Djamil Jambek, Syekh Muhammad
Djamil Jaho, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang, Syekh Abbas Ladang Lawas,
Syekh Zain Simabur, Kiyai Hasyim Asy’ari Jombang, K.H. Ahmad Dahlan, dan Syekh
Hasan Maksum Sumatera Utara. Di
kota suci ini, ia belajar selama 3,5 tahun (1903 hingga 1907 M).
Syekh
Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama yang konsisten mempertahankan i’tiqad ahl
al-sunnah wa al-jama’ah dan bermazahab Syafi’i dalam persoalan fiqh. Beliau
juga membela thariqat Naqsyabandiyah dari serangan kaum Muda. Pada tahun 1342
H, beliau tampil dalam mudzakarah dengan Syekh Muhammad Thahir al-Azhari
di depan ribuan jamaah di Majid Jami’ Pasir Ampek Angkek dengan memperbincangkan
tentang Rabithah, sebagai salah satu ajaran dalam thareqat
Naqsyabandiyah. Banyak di antara jamaah yang mengira bahwa beliau akan
berubah pendapatnya dan mengikuti pendapat Syekh Muhammad Thahir al-Azhari
bersama beberapa temannya yang secara bergantian mengemukakan pendapat untuk
membantah pendapat Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Namuan beliau yang sendirian tetap
mampu menjawabnya dengan baik sehingga akhir dari mudzakarah tersebut tidak
dapat membatalkan konsep rabithah dalam thareqat Naqsyabandiyah. Dalam
konteks ini, Muhammad Rusli Kapau (2003: 57) mengemukakan, para guru
Naqsyabandiyah patut menghargai jasa beliau dalam mempertahankan konsep
tersebut.
Kedalaman
ilmu Syekh Sulaiman ar-Rasuli menjadikannya sebagai ulama kharismatik yang
dikenal dan disegani kala itu. Beliau berperan sebagai da’i/muballigh,
pendidik, organisatoris/politisi, bahkan berperan sebagai ahli adat
Minangkabau.
Sebagai seorang dai, kehadiran Syekh Sulaiman ar-Rasuli banyak dinanti
jamaahnya. Bahkan ia bersedia memenuhi permintaan dari Tuanku Laras Anam Koto
penghulu kepala Pandai Sikat Kota Padang Panjang dan penghulu-penghulu imam
khatib dalam nagari tersebut agar beliau ke sana untuk mendidik umat yang
nyaris terjerumus kepada kemusyrikan. Ketika itu, berkembang pelajaran
menguatkan badan atau tidak mempan dengan senjata tajam, yang mereka sebut
dengan thariqat keras (bercampur syirik). Mereka menuntut ilmu itu untuk siap melawan pemerintah yang ingin melakukan balesting.
Selama
setahun ia menetap di sana sehingga akhirnya secara berangsur pelajaran menguatkan badan tersebut
ditinggalkan oleh masyarakat setempat dan pengajian diteruskan oleh
murid-muridnya (Yusran Ilyas, 1955: 6).
Setelah
itu, Tuanku Dt. Majolelo Damang Darwis—wakil Laras di Baso saat itu—juga
meminta beliau kembali pulang ke kampungnya karena tingkat kejahatan di Baso
semakin tinggi, seperti maling, menyabung ayam, judi, hingga kepada perampokan
sering terjadi, bahkan pasar Baso bagaikan pusat kejahatan seiring dengan
banyaknya kasus kejahatan yang terjadi di tempat keramaian tersebut. Ia pun
aktif membina jamaah melalui pengajian/pengajaran Islam yang dilakukan setiap
Kamis sehingga pada tahun 1938, pasar Baso jauh lebih aman dan ketaatan mereka
terhadap agama semakin tinggi.
Sebagai Pendidik, ia telah aktif mengajar murid-muridnya secara mandiri di
Surau Baru Canduang sekembalinya dari Mekah. Sebelumnya, ketika belajar di
Halaban, ia telah dipercaya sebagai “guru tuo” dan disenangi oleh murid-murid
lain karena kemampuannya dalam menguasai ilmu dan mengajarkannya.
Sikapnya
yang demokratis dan terbuka terhadap ide perubahan positif, akhirnya bersedia
menerima saran dari Syekh Abbas Ladang Lawas untuk melakukan perubahan pola
belajar dari sistem halaqah menjadi klasikal sehingga sejak tahun
1926, surau tersebut berganti menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Canduang. Dua tahun berikutnya, perubahan itu diikuti oleh ulama-ulama
Minangkabau yang sepaham dengannya, terutama Syekh Muhammad Djamil Jaho
mendirikan MTI Jaho dan Syekh Abdul Wahid al-Shalih mendirikan MTI Tabek
Gadang.
Sebagai politisi dan organisatoris yang mempuni, beliau aktif dalam berbagai kegiatan sosial
kemasyarakatan. Pada masa penjajahan Belanda, beliau menerima beberapa
amanah penting. Pada tahun
1917 M, Inyiak Canduang dipercaya sebagai Qadhi di nagari Canduang dalam
Sidang Sabuah Balai. Tahun 1918 M, beliau terpilih menjadi Ketua Umum
Syarikat Islam (SI) untuk daerah Canduang – Baso. Tahun 1920 M, bersama-sama
dengan Syekh H. Abbas al-Qadhi Ladang Lawas dan Syekh H. Muhammad Djamil Jaho
serta ulama yang sepaham dengannya ia
mendirikan organisasi “Vereeniging Ittihadul Oelama Sumatera” (VIOS) sebagai wadah berkumpulnya para ulama Sunniyah-Syafi’iyyah
dalam mengkaji dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang diketuai oleh Syekh Muhammad Saad Mungka.
Beliau
juga disebut sebagai pendiri utama sekaligus pemimpin pertama Persatuan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) yang terbentuk pada tanggal 5 Mei 1928 M/15
Zulkaedah 1346 H. Organisasi ini merupakan wadah untuk mempersatukan Madrasah
Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang sudah terbentuk 2 tahun sebelumnya di Canduang.
Pada tanggal 28 Mei 1930, ia menggagas musyawarah besar di MTI Canduang lalu
terbentuklah organisasi yang bernama “Persatuan Tarbiyah Islamiyah”, disingkat
PTI sebagai pengganti PMTI yang bertugas untuk mengelola semua madrasah yang
berada di bawah naungannya. Salah satu keputusannya adalah ditetapkan 10 orang
ulama pendiri, nama yang pertama adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan beliau pun
dipercaya sebagai “Direktur Pendidikan”. Sejak itu, jumlah madrasah di bawah
PTI tumbuh dan berkembang cukup pesat, menyebar ke seluruh Sumatera, mulai dari
Aceh hingga ke Lampung, bahkan sampai ke Sintang (Kalimantan Barat). Pada tahun 1942 tercatat sekitar 300 sekolah
PERTI dengan murid sekitar 45.000 orang (Hasril Chaniago, 2010: 474).
Pada tahun 1932 M ia menolak
ordonansi sekolah liar yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sedangkan tahun 1937, ia turut menolak ordonansi kawin bercatat (catatan sipil)
yang ingin diberlakukan oleh pemerintah Belanda. Selain itu, tahun 1939, ia
bersama pimpinan organisasi membentuk kepanduan al-Anshar. Tahun 1942, beliau
turut menentang Politik Bumi Hangus Kolonial.
Pada
masa penjajahan Jepang, tahun 1943, Syekh Sulaiman
ar-Rasuli terpilih menjadi ketua umum Majelis
Islam Tinggi Minangkabau (MITM). Kiprah organisasi ini hingga ke negara tetangga. Beliau
bersama beberapa pengurus lainnya menghadiri Rapat Besar Ulama Islam Sumatera –
Malaya di Singapura. Melalui
MITM pula, ia berjuang untuk memperkokoh kerukunan interen ulama dan umat Islam
Sumatera Barat dari adanya pertentangan antara kaum tua dan kaum muda.
Hasilnya, tokoh ulama dari kalangan “kaum Tua” dengan “kaum Muda” bersepakat
bahwa: masalah-masalah khilafiyah bukan bid’ah; bertaqlid kepada umam mazhab
dibiarkan, tidak boleh diganggu; dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari
cela-mencela antara satu sama lain.
Pascakemerdekaan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengembangkan
fungsinya menjadi partai politik dengan nama Partai Islam PERTI. Dalam hal ini
Syekh Sulaiman ar-Rasuli ditetapkan sebagai Penasehat Tertinggi. Beliau juga
disebut sebagai penggagas berdirinya Mahkamah Syariah di Sumatera Tengah.
Gagasan itu ia sampaikan kepada
Jawatan Agama Sumatera Tengah, H. Nasruddin Thaha. Lalu diperkuat oleh keputusan dari ulama-ulama
Sumatera Barat yang diadakan melalui referendum. Maka tahun 1947 berdirilah
Mahkamah Syariah di Sumatera Tengah secara resmi dan beliau diangkat menjadi
Ketua oleh Menteri Agama RI pada tanggal 17 Juni 1947 dan berakhir pada tahun
1960 M.
Pada tahun 1948, beliau diangkat
sebagai penasehat Gubernur Militer Sumatera Tengah. Tahun 1956, ia menghadiri Muktamar Ulama Seluruh Indonesia
(MUSI) di Palembang Sumatera Selatan dan dipercaya sebagai ketua salah satu komisi yang bertujuan untuk menentang komunis yang
telah mulai memperlihatkan kukunya dalam berbagai kehidupan bangsa.
Inyiak Canduang juga terpilih
menjadi anggota Konstituante berdasarkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) pertama
pada tahun 1955. Sidang pertama dibuka pada tanggal 10 Nopember 1956 di Kota
Bandung. Sebagai anggota tertua, baik dari segi usia maupun ilmu dan
pengalaman, beliau terpilih menjadi ketua sidang pertama konstituante tersebut.
Dalam memimpin sidang, ia tetap mengenakan
sarung dan sorban, pakaian yang biasa dipakainya.
Sebagai tokoh adat, beliau selalu diundang sebagai nara
sumber dalam acara-acara resmi adat Minangkabau. Pada tahun 1927, Inyiak
Canduang diundang untuk menjadi nara sumber tentang keterkaitan agama Islam
dengan adat Minangkabau. Undangan tersebut berasal dari penguasa yang berada di
daerah raja-raja Gunung Sahilan (Zelf Besturder van Kampar Kiri), Teluk
Kuantan dan Pulau Gadang.
Pada tahun 1954 dilaksanakan
Kongres Segi Tiga berdasarkan inisiatif beliau di Bukittingi yang dihadiri oleh
ninik-mamak, alim-ulama dan cerik-pandai Minangkabau. Lagi-lagi dalam kongres
ini beliau ditetapkan sebagai ketua umum dan M. B. Dt. Rajo Sampono dipercaya
sebagai Sekretaris Umum. Hasil dari kongres tersebut adalah: “sepakat bahwa
harta warisan atau pusaka tinggi tetap dibagi menurut adat sedangkan harta
pencarian atau pusaka rendah dibagi menurut syariah (faraidh)”.
Syekh
Sulaiman ar-Rasuli juga dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis,
baik di bidang tafsir, tauhid, tasawuf fiqh, adat Minangkabau, dan pendidikan.
Tidak kurang dari 17 karya yang dihasilkan, satu di antaranya menjadi kitab
tauhid yang dipelajari di MTI Canduang dan beberapa MTI lainnya, yaitu al-Aqwālu
al-Mardhīyyah fi al-‘Aqaid al-Diniyyah.
Tepat pada hari Sabtu, tanggal 28
Rabi’ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, Syekh Sulaiman ar-Rasuli wafat dalam usia
99 tahun. Tidak kurang dari enam ribu pelayat yang mengantarkan jenazahnya ke
pemakaman di halaman madrasah induk yang asli dari MTI Canduang. Gubernur
Sumatera Barat, Harun Zein, Panglima Kodam II/17 Agustus dan pejabat pemerintah
lainnya, sipil dan militer, kaum muslimin dari berbagai penjuru, hadir pada
pemakaman itu, karena radio telah menyiarkannya. Bahkan Gubernur Sumatera
Barat, Harun Zein, memerintahkan agar pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera
setengah tiang selama delapan hari penuh, sebagai tanda belasungkawa yang
dalam.
Di hari itu, sedang berlangsung
pula seminar sejarah Islam di Minangkabau yang dihadiri oleh sejumlah
cendikiawan, termasuk Buya Hamka. Mendengar wafatnya Syekh Sulaiman ar-Rasuli,
beliau langsung menuju Canduang dan shalat jenazah di atas pusara saja.
Pada
tahun 1975 Gubernur Sumatera Barat telah menanugerahkan untuknya sebuah piagam
tanda penghargaan sebagai ”Ulama Pendidik” yang diserahkan kepada ahli warisnya
seperti juga beliau pernah menerima penghargaan ”Bintang Perak” dari Pemerintah
Belanda dan ”Bintang Sakura” dari Pemerintah Jepang. Bahkan ulama besar
Minangkabau ini ditetapkan pemerintah sebagai salah seorang Perintis
Kemerdekaan pada tahun 1969.
Demikianlah
riwayat hidup Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang penuh dengan perjuangan dakwah dan
tarbiyah. Hingga di usia senjanya, beliau tetap aktif berdakwah dan mendidik
dalam pertemuan majlis taklim, atau bagi santri kelas VII di MTI Canduang.
Bahkan setahun menjelang wafat, beliau meresmikan berdirinya Universitas
Ahlussunnah (UNAS) di Bukittinggi dengan satu fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah
sekaligus melantik rektornya H. Ma’ana Hastuti Dt. Tanpahlawan, MA pada tahun 1969 M. Suatu
perjuangan yang terus dikenang dan dirindukan banyak orang.
Menjelang ia wafat,
banyak pesan berharga yang ia sampaikan pada keluarga dan murid-muridnya. Satu
di antaranya, dirumuskan dalam kalimat ”Teroeskan Membina
Tarbijah Islamijah Ini Sesoeai dengan Peladjaran yang Koe Berikan”, dan rumusan pesan itu kini terukir di
atas pusaranya.
Kakek (datuk) saya KH Abdul MUthlib (alm) adalah murid langsung Syech Sulaiman Arrasuli, kakek saya lahir 1911 dan pernah menjadi jetua pelajar Madrasah Perrti se candung, dan pada tahun 2001 saya pernah berkunjung k Madrasah perti di surau ateh dan bertemu dgn Buya Sahrarudin Arrasuli (anak syech Sulaiman) dan saya pernah melihat buku alumni madrasah perti candung yaitu prof jamaan nur, Baharuddin Dj (alm, mantan ketua DPRD Prov Bengkulu) satu lagi saya lupa. nama nama kakek saya terlupakan utk di catat akhirnya di koreksi oleh Buya syahrudin
BalasHapusSYAIPUDDIN ZUHRI Bengkulu 085380061118