Oleh: Muhammad Kosim
(Padang Ekspres, 12 April 2013)
“Malu merupakan salah satu sifat
yang membedakan manusia dengan hewan”, demikian yang selalu ditanamkan oleh
orang-orang tua terdahulu agar anaknya memiliki sifat tersebut. Adanya rasa
malu akan membentengi seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang memalukan.
Secara etimologi, bahasa Arab malu
adalah al-Hayā’ diambil dari kata al-Hayāh yang berarti
kehidupan. Jadi tidak ada kehidupan tanpa rasa malu. Bahkan Ibn Qayyim berkata:
“Barang siapa yang tidak memiliki malu dalam dirinya maka dia adalah mayat di
dunia dan kesengsaraan di akhirat.”
Sayid Sabiq menegaskan bahwa
orang yang tidak memiliki rasa malu, terutama kepada Allah, kepada sesama
manusia, ia tidak segan melakukan kemaksiatan, kemungkaran dan melanggar segala
etika dan moral yang berlaku dalam masyarakat karena kulitnya sudah menebal dan
mata hatinya yang sudah menjadi buta. Dengan begitu, sifat malu akan mendorong
seseorang berbuat kebaikan dan menghalangi untuk berbuat dosa, rendah lagi
hina.
Namun rasa malu yang ada pada
seseorang bisa pula bertentangan dengan fitrahnya. Malu diremehkan orang karena
tidak punya atau turun dari jabatan, malu dikatakan “sok suci”, bahkan malu
menunjukkan identitas keislamannya.
Malu yang sesungguhnya adalah
malu kepada Allah SWT. Jika rasa malu pada Allah tertanam dalam jiwa manusia,
maka dengan sendirinya ia juga malu kepada sesamanya jika melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Allah dan bertentangan dengan hati nurani manusia.
Karena itu, Rasulullah SAW
menyeru para sahabat “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah”. Ia
menegaskan bahwa malu kepada Allah itu meliputi tiga perkara. Pertama, “Engkau
menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya.” Maksudnya apa yang ada di kepala
harus dijaga dari hal-hal yang dimurkai Allah.
Gunakan kemampuan akal untuk
berfikir dan bertadabbur agar kian dekat kepada Allah (Qs. Ali Imran/3: 191).
Jangan gunakan kemampuan akal untuk berpikir negatif: berprasangka buruk, berpikiran
cabul, merekayasa kebenaran, termasuk mengaburkan hakikat perintah (agama)
Allah.
Di kepala juga terdapat mata,
telinga dan lidah. Orang yang malu kepada Allah tidak akan menggunakan matanya
untuk memandang sesuatu yang dilarang-Nya. Telinganya lebih digunakan untuk
mendengar perkataan berhikmah dari pada perkataan yang mengandung kebencian,
cercaan, makian, termasuk dari perkara ghibah dan fitnah.
Begitu pula lisannya ia gunakan hanya
berbicara yang baik, sebab lisan seorang mukmin
terhadap orang lain hanya ada dua pilihan: berkata baik atau diam saja.
Sementara kepada Allah, lisannya senantiasa berzikir kepada Allah dengan
kalimat tahmid, tasbih, tahlil, takbir dan kalimat tayyibah
lainnya.
Kepala beserta apa yang
dikandungnya harus malu kepada Allah dengan cara tunduk pada aturan-aturan-Nya.
Akal pikiran, penglihatan, pendengaran dan perkataan yang dianugerahkan-Nya
harus dipelihara dari sesuatu yang diharamkan dan dapat merusak alam
sekitarnya.
Tidak pula layak kepala ini
tunduk kepada seseorang dengan berharap penuh kepadanya lalu melupakan Allah
SWT sebagai Maha Penolong. Orang yang menundukkan kepalanya (berharap
sepenuhnya) kepada orang lain maka besar kemungkinan akan menuruti keinginan
orang tersebut sebagai balas budi dan semacamnya, meskipun dengan cara
melanggar hukum.
Kedua, “menjaga
perut dan apa yang dikandungnya.” Keinginan perut yang tidak terkendali sangat
rentan membuat seseorang melakukan hal-hal yang memalukan. Demi memenuhi
kebutuhan perut, seseorang bisa menghalalkan segala cara untuk memperoleh
kebutuhan itu. Korupsi, menipu, curang dalam timbangan, praktik riba, dan sejenisnya
dilakukan oleh seseorang karena dorongan syahwat perutnya.
Sejatinya, seorang mukmin harus
malu kepada Allah ketika memenuhi kebutuhan perutnya dengan cara yang halal.
Jangan sekali-kali mengonsumi makanan yang haram, baik zat maupun cara
memperolehnya. Bisa jadi makanan itu bergizi, tetapi ketika ia diperoleh dengan
cara yang haram akan menjadi racun bagi perkembangan ruhaniahnya. Sebab makanan
yang haram bisa menyebabkan pikirannya cenderung pada hal-hal yang haram.
Tidak itu saja, makanan yang
diperoleh dengan cara haram itu bisa ditolak oleh sel-sel darah yang ada dalam
tubuh kita sehingga bisa pula menimbulkan ragam penyakit. Sebab, seluruh apa
yang ada di langit dan di bumi senantiasa tunduk, bertasbih kepada Allah (Qs.
al-Isra’/17: 44). Termasuk jasad manusia, taat kepada sunnatullah. Bisakah
kita memerintahkan agar detak jantung dan nafas ini berhenti? Begitu pula
sel-sel darah yang mengalir di tubuh ini, senantiasa tunduk dan taat pada sunnatullah
sehingga fitrahnya cenderung menolak asupan makanan yang diharamkan.
Karena itu, ingatlah bahwa segala
rezeki yang diperoleh di muka bumi ini hanya semata-mata berasal dari Allah.
firman-Nya: Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah
Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan
bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari
ketauhidan)? (Qs.. Fathir/35: 3).
Ketiga, “mengingat
kematian dan kebinasaan.” Orang yang sebenar-benar malu kepada Allah akan
senantiasa ingat mati (dzikrul maut). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW
menegaskan bahwa orang yang paling cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak
mempersiapkan bekal untuk mati (H.R. Thabrani).
Dengan mati, maka cara
berpikirnya jangka panjang, berorientasi akhirat. Setiap aktivitasnya di muka
bumi ini harus bernilai ibadah sehingga menjadi investasi bagi kehidupan
akhirat.
Mengingat mati bukan membunuh
daya kreatifitas, sebaliknya dengan mengingat mati akan menjadikan kinerja
seseorang lebih berkualitas; bukan menjadikannya statis melainkan dinamis.
Sebab setiap yang dilakukan akan diminta pertanggungjawabannya (Qs.
al-Isra’/17: 36). Jika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak berkualitas,
apalagi menimbulkan kerusakan terhadap keseimbangan alam, melanggar hukum-hukum
Tuhan, maka kelak ia akan menuai kesengsaraan di hari pembalasan. Karena itu,
ingat mati akan mendorongnya untuk melakukan suatu aktivitas yang berkualitas.
Setelah mengemukakan tiga bentuk
malu yang sebenarnya kepada Allah, maka Rasulullah SAW pun bersabda: Dan
barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia.
Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah SWT dengan
sebenar-benarnya (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Meninggalkan perhiasan dunia
bukan berarti tidak peduli terhadap kebahagiaan dunia. Sebab dunia adalah lahan
menanam amal. Kebahagiaan dunia yang mengakibatkan kesengsaraan akhirat mesti
ditinggalkan. Sebaliknya kebahagiaan dunia yang mendatangkan keselamatan
akhirat perlu didapatkan (Qs. al-Qashash/28: 77).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW
bersabda: “Sesunggunya sesuatu yang dapat dijumpai oleh manusia dari ucapan
para Nabi terdahulu adalah: ‘Bila engkau tidak memiliki rasa malu, lakukan
segala sesuatu menurut keinginanmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibn
Majah).
Amru Khalid dalam kitan Akhlaq
al-Mu’min menyebutkan ada dua makna hadis di atas. Makna pertama,
jika seseorang tidak lagi merasa malu melanggar perintah Allah atau berbuat
kerusakan maka berbuatlah sesukamu, tetapi semuanya kelak akan diminta
pertanggungjawabannya.
Makna kedua, jika suatu
pekerjaan itu benar menurut syara’, sesuai dengan hati nurani dan fitrah
manusia, maka lakukanlah perbuatan itu tanpa harus merasa malu terhadap
cemoohan dan hinaan dari orang lain. Sebab tidak selamanya kebaikan itu
mendapat pujian dan penghargaan dari semua orang.
Sifat malu akan dapat dimiliki
seseorang jika dilandasi dengan iman yang kuat. Sebab Rasul bersabda: “Malu
dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang
lainnya.” (HR. Hakim dan Ath-Thabrani).
Semoga Allah menuntun kita untuk tetap memiliki rasa
malu sehingga perbuatan maksiat yang melanggar hukum, menyakiti sesama insan,
dan merusak keseimbangan alam dapat kita hindarkan. Kiranya malu menjadi
benteng bagi ruhaniah kita untuk tidak tergoda akan kenikmatan duniawi yang
mendatangkan murka Ilahi. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar